mediasumatera.id – Kesalahan fatal dari tim Anies Baswedan karena mereka merancang strategi politik yang MUSTAHIL untuk menang. Tim ini sudah salah sejak langkah pertama.
Tentu saja, ini tidak dilakukan secara sadar. Semua yang terlibat dalam pilpres pasti ingin menang. Tapi mereka kurang memberi perhatian yang sungguh- sungguh soal apa yang bisa membuat menang dan kalah.
Dari sudut pandang politik elektoral, keseluruhan kampanye Anies memang mampu memberikan pendidikan politik bagi warga negara (civic education). Memang strategi tersebut bisa meramaikan percakapan publik.
Tapi pasti pula, strategi yang dipilih Tim Anies Baswedan hanya akan membawa kekalahan dalam pilpres 2024.
Saya mulai dengan Bobby Fisher. Ia adalah seorang ahli catur Grand Master yang dianggap salah satu dari pemain catur terbesar sepanjang masa. Fisher sangat ahli dalam merancang strategi.
Ini kutipan dari Bobby Fisher: “Jangan melangkah sebelum yakin, itulah langkah terbaik. Jika salah langkah, itu akan membawamu pada kekalahan.”
Kutipan di atas tidak hanya berlaku dalam permainan catur. Kutipan tersebut juga sangat relevan untuk pertarungan politik praktis.
Dalam catur ataupun politik praktis, memang ada banyak langkah di sana. Mulai dari langkah pertama, langkah kedua, hingga langkah ketiga.
Tapi sebenarnya, semua langkah ini ada dalam sebuah kerangka strategi makro. Itu yang paling penting. Sebelum bertarung, kita harus merumuskan strategi makro yang akan menjadi landasan dalam memenangkan hati dan pikiran rakyat.
Langkah demi langkah, isu, dan program itu hanyalah konsekuensi dari kerangka besar strategi yang harus dirumuskan dengan benar. Strategi makro ini sangat menentukan apakah kita akan menang atau kalah dalam pemilihan presiden.
Maka, sila pertama yang harus kita baca adalah opini publik terhadap presiden yang sedang memerintah. Apakah sang presiden (dalam konteks pilpres 2024 adalah Jokowi) masih populer atau tidak?
Mengapa kondisi opini publik terhadap presiden penting? Karena inilah cara yang paling sederhana, cara yang paling mudah, untuk kita mengetahui suasana hati publik saat pilpres. Kita perlu indikator terukur untuk membaca sentimen menyeluruh publik luas yang akan menjadi hakim tertinggi.
Ini datanya. Tingkat kepuasan publik terhadap Presiden Jokowi, approval rating Jokowi, yang dinilai dari berbagai lembaga survei (Maret-November 2023), sangat tinggi.
Mengesankan tingginya nilai Jokowi, berada di angka 75% sampai 82%. Sebagai perbandingan, approval rating untuk Presiden Amerika Serikat Joe Biden, Januari 2024, hanya 40%.
Fakta ini harus menjadi dasar pertama untuk kita menyusun strategi makro. Jika presiden yang sedang berkuasa sangat populer, maka strategi makro kita harus disusun agar calon presiden kita terasosiasi sangat kuat dengan Presiden tersebut.
Sebaliknya, jika presiden Jokowi tidak populer, terpuruk, atau tidak disukai oleh publik luas, strategi makro calon presiden yang akan bertarung justru harus menarik jarak sejauh mungkin dari Jokowi. Calon presiden harus menjadi anti-tesa Jokowi.
Maka disusunlah strategi calon presiden dengan mengambil isu “Melanjutkan!” atau “Meneruskan!” jika Jokowi masih populer.
Sebaliknya, jika presiden sekarang tidak populer, maka yang kita angkat adalah isu “Perubahan” atau “Penyegaran,” “Anti-tesa!”
Di sinilah kesalahan fatal dari tim Anies Baswedan, jika dilihat dari sisi probabilitas menang dan kalah dalam pilpres.
Meskipun sang calon presiden Anies Baswedan bekerja begitu keras, begitu hebat orasinya, dan programnya, tapi jika kerangka strategi makronya ditancapkan pada desain yang salah, maka ujung dari pilpres hanyalah kekalahan.
Ini yang terjadi pada tim Anies Baswedan. Mereka mengibarkan isu perubahan ketika presiden sekarang begitu populer.
Ibarat pondasi rumah, meskipun tim Anies sangat efektif menghias interiornya, sebaik mungkin dan detail mengecat rumah, dengan aksesori yang artistik, tapi karena fondasi rumahnya ada pada tanah yang salah, yang rapuh, maka rumah itu roboh juga.