mediasumatera.id – Dalam rangka merayakan Tema I ArDas KAPal, yakni Tahun Syukur dan moment syukur 75 tahun PARY, berikut jejak-jejak iman yang diwariskan oleh para pendahulu. Bagian awal yang perlu ditegaskan adalah sejarah panjang Rumah Yusup tidak terlepas dari keberadaan Paroki Sang Penebus Batuputih dan Paroki St. Petrus dan Paulus Baturaja. Semua berawal dari keinginan masyarakat dusun Batuputih yang ingin menjadi katolik. Mereka menemui tuan Luyks (residen Baturaja yang beragama Protestan) meminta petunjuk dan bertanya mengenai ke-Katolik-an.
Pada masa itu, sebenarnya sudah ada pastor tentara Belanda yang bertugas di tangsi militer Baturaja namanya Pastor Hofhyus dari imam SCJ. Pastor Hofhyus sering ke Palembang dan bertemu dengan Pastor Theodorus Borst. Dia menceritakan tentang orang Ogan, Batuputih, yang ingin masuk katolik dan umat katolik Jawa di Belitang.
Pada 26 November 1947, Mgr Henricus Mekkelholt memberi tugas kepada Pastor Theodorus Borst SCJ untuk mengelola rumah yatim piatu yang telah didirikan oleh Pastor Henricus Hermelink SCJ yang akan pindah ke Lahat.
Setelah menangani panti asuhan yang sudah berjumlah 63 anak itu, pastor Theodorus Borst merasa ada yang kurang karena gedung yang dipakai masih pinjaman dari suster Hati Kudus. Gedung itu pasti tidak bisa ditempati selamanya. Karena alasan bahwa ada orang Ogan yang ingin masuk katolik dan keinginan Mgr Henricus memindahkan panti asuhan, maka tanpa rasa jenuh dan takut, Pastor Theodorus Borst berkali-kali menemui Mgr Henricus Mekkelholt. Dia meminta ijin pindah ke Baturaja. Namun berkali-kali pula Mgr Henricus Mekkelholt menolak.
Pada Januari 1948 Mgr. Henricus Mekkelholt mengadakan pertemuan dengan para pastor. Akhirnya, dalam pertemuan itu ada kesempatan untuk mengajukan usul. Pastor Theodorus Borst mengajukan permohonannya.
“Gila!” jawab Mgr. Henricus Mekkelholt sangat pendek.
Pada awal Maret 1948, Pastor Theodorus Borst dan Bruder Fidelis van der Ende berdoa novena kepada Santo Yusuf. Usai berdoa, Pastor Theodorus Borst mengatakan kepada Bruder Fidelis bahwa dirinya akan menghadap Mgr. Henricus Mekkelholt sekali lagi. Bila sekali lagi ditolak, Pastor Theodorus Borst akan berhenti mengajukan permohonan pindah.
Pada sore itu, Pastor Theodorus Borst menemui Mgr. Henricus Mekkelholt yang sedang berdoa di serambi susteran Rumah Sakit Charitas. Ketika melihat kedatangan Pastor Theodorus Borst, Mgr. Henricus Mekkelholt langsung menoleh dan berkata, “Pergilah!”
Jawaban itu pendek, namun langsung mengena. Barangkali Mgr. Henricus Mekkelholt sudah dapat memastikan apa yang hendak dikatakan oleh Pastor Theodorus Borst. Jadi sore itu, Mgr. Henricus Mekkelholt tidak perlu lagi mendengar permohonan Pastor Theodorus Borst. Dia langsung mengabulkan permohonan itu, sebelum Pastor Theodorus Borst mengajaknya bicara.
Hari berikutnya, Pastor Theodorus Borst langsung menuju Baturaja dengan naik kereta api, siang sampai Baturaja. Ia dijemput oleh pastor Hofhyus dan istirahat di rumahnya. Sore harinya, Pastor Borst menghadap residen (Tuan Luyks). Beliau membuka pembicaraan mengenai Batuputih, dan soal rumah yatim piatu di bicarakan juga. Tuan Luyks menyarankan untuk menemui Tjik Ebek di dusun Saung Naga.
Keesokan harinya Pastor Borst menemui Tjik Ebek (nama aslinya Abdulrohim, yang mempunyai anak bernama Abdulrahman/Tjik Aman). Dia melihat rumah panggung yang besar, tetapi harus ada perbaikan karena sebagian ada bekas terkena mortir pada waktu “politionele actie” (Agresi Militer Belanda). Akhirnya, terjadi kesepakatan sewa rumah selama 10 tahun.
Pada Juni 1948, Pastor Theodorus Borst SCJ dan Bruder Fidelis SCJ serta 12 anak panti pindah ke Baturaja. Mereka menyewa truk militer Belanda untuk mengangkut barang-barang dari Talang Jawa (red. Sekarang Jalan Kol. Atmo), Palembang. Setelah itu naik kapal menyeberangi Sungai Musi sampai Kertapati. Mereka melanjutkan perjalanan dengan kereta api sampai Baturaja. Bruder Caspar SCJ sudah lebih dahulu tiba di Baturaja untuk menyiapkan segala sesuatu yang perlu.
Pada awal Juli, Pastor Borst membangun kapel di samping rumah Panti asuhan, Paroki Baturaja resmi berdiri. Guna mengenang pertolongan dari novena kepada Santo Yusup, maka Panti asuhan tersebut di beri nama Rumah Yusup. Lantas ditetapkan 19 Maret 1948 sebagai titik awal keberadaan Panti Asuhan Rumah Yusup (PARY).
Semangat Pastor Theodorus Borst SCJ yang tak menyerah kendati ditolak, kini PARY tetap eksis melayani hingga berusia 75 tahun. Sikap pantang menyerah yang dilandaskan pada doa dengan perantaraan St. Yosep mampu mengubah kata ‘gila’ menjadi ‘pergilah’. Sebuah warisan teladan indah dari pendiri yang pantas dimaknai pada konteks zaman ini.
Sikap pantang menyerah Sang Pendiri, kini dihidupi dan dilanjutkan oleh RD. Ignas, yang sebelumnya pernah menjadi Pastor Rekan di Paroki St. Teresia Jambi. Tentu ia tak seorang diri dalam karya ini, sebab PARY adalah karya Gereja. Harapannya semakin banyak pihak peduli dan terlibat dalam pembinaan anak-anak PARY guna menyongsong masa depan cemerlang. Melalui pola bina itu diharapkan ada yang terpanggil pula menjadi imam, biarawan dan biarawati.