mediasumatera.id – Denny JA melontarkan gagasan sekaligus pertanyaan provokatif dalam renungannya tentang Idul Adha. Esai Denny “Akan Menguatkah: Tafsir yang Tak Lagi Harus Hewan Dijadikan Kurban Ritus Agama” seolah menggugat tradisi ritual penyembelihan hewan dalam perayaan Idul Adha.
Padahal, ritual agama ini sudah berlangsung ratusan tahun dan telah menjadi tradisi yang membeku. Bahkan, ritual penyembelihan hewan ini sudah dianggap sebagai sebuah ‘kebenaran’ yang tidak perlu lagi dipertanyakan keabsahannya. Umat harus mematuhi saja!
Gagasan Denny JA ini sah saja karena sesungguhnya tradisi keagamaan yang kita sakralkan pun merupakan hasil interpretasi manusia pada zamannya. Suatu tradisi bisa saja dibakukan, tetapi tidak boleh dibekukan.
Tradisi selalu berada dalam proses menjadi. Tradisi bisa berubah oleh karena perubahan konteks zamannya. Dalam perspektif itulah, menurut saya, Denny JA berani melontarkan gagasannya.
**Pergulatan Pemikiran Denny JA**
Denny memulai renungannya dengan pertanyaan yang menantang pergulatan pemikiran. Pertanyaannya adalah: akankah tumbuh kesadaran yang semakin besar di kalangan cendekia Islam untuk memilih tafsir yang tidak menjadikan ‘sembelih hewan’ sebagai bagian dari ritus Idul Adha?
Diakuinya bahwa pertanyaannya ini muncul setelah membaca sebuah esai yang ditulis Shahid Ali Muttaqi dengan judul: *An Islamic Perspective Against Animal Sacrifice*.
Dalam menjawab pertanyaan di atas, Denny memaparkan bahwa sesungguhnya ada tiga paradigma penafsiran menyangkut ritus “penyembelihan hewan” saat Idul Adha.
Pertama, perspektif mainstream yang diwakili oleh MUI. Dalam perspektif ini, kurban hewan itu sentral dan menyatu dengan Idul Adha. Oleh karena itu, kurban hewan itu tidak bisa digantikan, apa pun alasannya. Kita bisa menyebut pendapat MUI ini sebagai pandangan yang statis.
Kedua, pandangan Muhammadiyah. Pandangan ini menegaskan bahwa untuk kasus atau situasi tertentu, kurban hewan ini bisa digantikan oleh apa pun. Misalnya, diganti dengan sedekah.
Bagi lembaga Muhammadiyah, reinterpretasi terhadap ritual kurban hewan masih mungkin dilakukan dengan mempertimbangkan konteks dan situasi yang ada. Dengan demikian, pandangan Muhammadiyah ini lebih kompromistis.
Ketiga, pandangan yang, Denny JA menyebutnya, esensialis. Pandangan ini muncul dari Shahid Ali Muttaqi. Bagi Ali Muttaqi, yang terpenting dalam kisah Nabi Ibrahim itu bukan fisik hewannya.
Hewan bukan sesuatu yang sentral. Bagi Ali Muttaqi, yang sentral dalam peristiwa Nabi Ibrahim adalah ekspresi ketakwaan manusia kepada Allah. Ketakwaan dan cinta kepada Allah ini bahkan melebihi kecintaannya terhadap anak kandungnya sendiri.
Secara implisit, Ali Muttaqi menegaskan ide yang berbeda total dengan MUI yang berpendapat bahwa hewan itu sesuatu yang sentral dalam ritus Idul Adha.
Melalui pendekatan ini, Ali Muttaqi menegaskan bahwa aspek terutama dalam Idul Adha adalah panggilan untuk memperbarui dan memperkuat komitmen cinta dan takwa kepada Allah.
Denny JA sependapat dengan Ali Muttaqi yang menganggap kurban hewan bukanlah sesuatu yang esensial. Oleh karena itu, terbuka kemungkinan mengubah ritus pengorbanan hewan dalam perayaan Idul Adha dengan pengorbanan dalam bentuk-bentuk lainnya.
Denny JA sadar bahwa gagasan Shahid Ali Muttaqi ini belum cukup populer di Indonesia. Meski demikian, Denny yakin bahwa di masa depan pandangan Ali Muttaqi ini prospeknya semakin menguat karena tiga alasan.
Pertama, dari segi filsafat tafsir. Kini lebih banyak orang mulai menggali kisah Nabi Ibrahim dan mencari pesan utamanya yaitu ketakwaan kepada Sang Kebenaran.
Kedua, dari segi praktis. Bantuan kepada kaum fakir miskin disesuaikan dengan kebutuhan dan keperluan mereka. Misalnya, bisa berbentuk pemberian makanan, beasiswa sekolah, bantuan perawatan kesehatan, dan sebagainya. Tentu saja, bentuk bantuan seperti ini akan jauh lebih efektif dan bermanfaat bagi mereka yang membutuhkan.
Ketiga, munculnya kesadaran dan gerakan manusia modern terhadap hak-hak hewan dan perlindungan terhadap keberlanjutan spesies makhluk hidup lainnya.
Nah, muncul pertanyaan menarik. Dari ketiga pandangan di atas, di mana kira-kira posisi Denny JA?
Dalam esainya, terdapat kesan kuat Denny JA condong pada pandangan ketiga. Alasannya jelas, yaitu bahwa secara filosofis, praktis, dan moral, pandangan Shahid Ali Muttaqi lebih sesuai dengan spirit dan perkembangan zaman.
Oleh karena itu, dia berharap sekaligus mendorong agar umat dan kaum intelektual Islam mampu membuka diri terhadap kemungkinan terjadinya perbedaan tafsir. Mereka harus berani memulai pergulatan intelektual dengan mempertanyakan dan bahkan menggugat tradisi ritual agama yang sudah tidak lagi sesuai dengan spirit zamannya.
**Butuh Fundamen Teologis**
Melalui esainya, Denny JA telah melakukan desakralisasi, bukan terhadap Idul Adha, tetapi terhadap tradisi ritual penyembelihan hewannya.
Gerbang reinterpretasi terhadap ritual penyembelihan hewan ini sudah dia buka seluas-luasnya. Denny JA telah memulainya dengan memberi tiga alasan mengapa gagasan Shahid Ali Muttaqi akan terus bergulir dan semakin menguat.
Ketiga catatannya lebih banyak menyangkut aspek yang pragmatis dan sekuler. Semuanya bagus dan sangat diperlukan. Meskipun demikian, menurut saya, ada yang perlu ditambahkan agar reinterpretasi terhadap ritual pengorbanan hewan bergulir dan semakin menguat.
Salah satu aspek yang paling dibutuhkan dalam proses reinterpretasi ritual keagamaan adalah perlunya fundamen teologis yang kokoh. Hal ini sangat penting. Tanpa adanya fundamen teologis yang kuat, proses pembaruan yang melecut reinterpretasi terhadap tradisi keagamaan akan menghadapi resistensi yang sangat kuat, baik dari umat maupun dari institusi keagamaan. Dengan demikian, reinterpretasi itu akan menemui jalan buntu.
Sebaliknya, setiap proses reinterpretasi terhadap tradisi keagamaan pasti mendapatkan dukungan dari berbagai elemen keagamaan bila didasarkan pada fundamen yang kokoh. Saya akan berikan dua contoh dari pengalaman Kekristenan.
Pengalaman pertama, Reformasi Protestan. Reformasi Protestan sukses, salah satunya, karena Martin Luther membangun fundamen teologis yang kokoh dalam reinterpretasinya terhadap tradisi gereja Roma Katolik. Beberapa fundamen teologisnya adalah ini.
Pertama, *Sola Scriptura* (Hanya Kitab Suci). Luther berargumen bahwa Kitab Suci adalah satu-satunya sumber otoritas tertinggi dalam hal iman dan praktik Kristen. Luther menekankan bahwa segala ajaran dan praktik gereja harus diuji berdasarkan Kitab Suci.
Kedua, *Sola Fide* (Hanya Iman). Bagi Luther, keselamatan diperoleh melalui iman kepada Yesus Kristus, bukan melalui perbuatan baik atau sakramen gereja.
Ketiga, *Sola Gratia* (Hanya Anugerah). Luther meletakkan dasar teologis yang sangat penting dalam tradisi kekristenan, yaitu bahwa keselamatan adalah anugerah Allah.
Keselamatan diberikan secara cuma-cuma, tanpa syarat dan tanpa memandang jasa atau usaha manusia. Keselamatan adalah karunia dari Allah yang diterima melalui iman, bukan hasil usaha manusia. Dan anugerah Allah ini terjadi karena ‘*Unconditional Love*’ Allah.
Artinya, Allah tetap mencintai apa pun dan bagaimana pun kondisi kita manusia. Ketiga fundamen teologis ini menggugat tradisi sakral gereja, menggugat ‘kekebalan’ institusi agama, dan selanjutnya menjadi landasan dalam setiap proses pembaruan gereja.
Pengalaman kedua, reinterpretasi kisah Abraham (Ibrahim). Reinterpretasi total terhadap kisah Abraham itu bisa diterima dengan mulus, tanpa resistensi, karena dibangun di atas fundamen teologis yang kokoh.
Dalam Kitab Suci, Allah memberikan Abraham domba untuk dikorbankan sebagai pengganti anaknya. Dalam reinterpretasi terhadap kisah Abraham, Yesus Kristus disimbolkan sebagai domba yang dikorbankan demi keselamatan manusia.
Itulah sebabnya Yesus dijuluki “Anak Domba Allah.” Efeknya, Kekristenan tidak lagi mewajibkan pengorbanan binatang sebagai bentuk ketakwaan dan cinta kepada Allah. Pengorbanan ‘Sang Anak Domba Allah’ sekali dan untuk selama-lamanya.
Sebagai gantinya, umat Kristen didorong untuk melayani dan mencintai sesama sebagai ekspresi syukur karena diselamatkan Allah.
Baik cerita reformasi Protestan maupun reinterpretasi kisah Abraham adalah contoh perlunya landasan teologis yang kokoh dalam upaya reinterpretasi ritual keagamaan.
Nah, menurut saya, tugas dan tanggung jawab intelektual Islam untuk mencari landasan teologis yang kokoh bila hendak menggugat atau melakukan pembaruan dalam ritual apa pun, termasuk ritual pengorbanan hewan.
Dalam konteks ini, tanpa berniat lancang memasuki ranah ke-Islam-an, saya sangat terkesan pada satu cerita dalam Hadis Nabi yang memiliki pesan sangat kuat untuk menyayangi hewan. Inilah ceritanya.
**Cerita Anjing Kehausan**
Cerita Nabi Muhammad tentang anjing yang kehausan memberikan pesan moral-teologis yang sangat dahsyat.
Menurut hadis, Nabi bercerita tentang pelacur perempuan dari bani Israel yang mengadakan perjalanan yang jauh di tengah terik matahari yang menyengat.
Dalam perjalanannya, pelacur perempuan itu melihat seekor anjing yang tengah menjulurkan lidahnya sambil mengitari sumur air di dekatnya.
Usut punya usut, ternyata hewan yang dilihatnya itu sedang menderita kehausan. Hati pelacur perempuan bani Israel itu menjadi luluh. Dia merasa iba dan menaruh belas kasihan pada anjing itu.
Pelacur perempuan itu tergerak hatinya untuk menolong sang anjing. Tanpa berpikir lebih panjang, perempuan pelacur itu langsung turun ke dasar sumur. Dia mengambil air dengan sepatunya, kemudian naik ke atas dan memberi minum anjing yang sedang kehausan itu.
Apa komentar Sang Nabi? Komentar beliau sangat menarik! Beliau berkata begini: Perbuatan baik pelacur perempuan bani Israel kepada sang anjing sangat menyenangkan hati Allah. Lalu, Allah mengampuni segala dosanya dan memberinya ganjaran sorga.
Tentu saja, komentar Sang Nabi sangatlah mengejutkan mengingat anjing dianggap sebagai binatang yang diharamkan. Tetapi, pesan Nabi sangat dahsyat. Seolah Nabi Muhammad mengatakan bahwa Allah sangat berkenan ketika umat-Nya melakukan kebaikan terhadap siapa pun dan apa pun, bahkan terhadap makhluk yang diharamkan.
Melalui cerita ini, Nabi telah memberi pesan moral-teologis yang sangat kuat. Pesannya adalah ini: Allah menghendaki umat-Nya untuk memiliki belas kasih dan cinta terhadap segala makhluk, termasuk terhadap hewan yang dianggap haram.
Saya yakin, masih banyak cerita-cerita sejenis dalam Kitab Suci maupun dalam Hadis Nabi yang memberi pesan yang kuat untuk menyayangi segala makhluk, termasuk hewan yang dianggap haram. Pertanyaannya adalah bisakah cerita Nabi Muhammad tentang anjing yang haus, atau cerita-cerita lain yang sejenis, dijadikan fundamen moral-teologis yang kokoh dalam membangun belas kasih terhadap hewan.
Bila jawabnya ‘bisa,’ maka cerita Nabi ini bisa dijadikan fundamen teologis yang kokoh dalam reinterpretasi terhadap ritual pengorbanan hewan dalam perayaan Idul Adha.
**Penutup**
Kini kita hidup di dalam dunia yang hancur oleh keserakahan manusia. Joseph Stiglitz menyebut era ini sebagai Era Keserakahan.
Di dalam keserakahannya, manusia telah menghancurkan bumi, menghancurkan hutan, dan membinasakan berbagai makhluk hidup ciptaan Allah. Sebagian besar jenis hewan telah menjadi binatang langka.
Di tengah dunia seperti ini, Andrew Linzey dalam bukunya *Why Animal Suffering Matters* menegaskan bahwa agama-agama bertanggung jawab mendorong umatnya untuk mengembangkan inisiatif dan kerja sama membangun nilai-nilai moral-etik yang menghormati kehidupan, termasuk kehidupan hewan.
Dan memang, Allah menciptakan manusia untuk mengelola dan bertanggung jawab terhadap kelestarian dan kehidupan di muka bumi ini.
Oleh karena itu, kita butuh nilai-nilai moral-teologis yang mencintai kehidupan, bukan kematian. Menurut Nabi Muhammad, dalam cerita Anjing Kehausan, nilai-nilai moral-teologis yang memelihara dan mencintai kehidupan itulah yang menyenangkan Allah dan mendapatkan pahala di sorga.