MEDIA SOSIAL MENGUBAH AKSI PROTES DAN POLITIK – Untuk Affan Kurniawan

MEDIA SOSIAL MENGUBAH AKSI PROTES DAN POLITIK - Untuk Affan Kurniawan
mediasumatera.id – Tak pernah terjadi seperti ini sebelum era media sosial.
Sore itu, jalan di ibu kota Jakarta  penuh riuh motor yang berdesakan. Di tengah kekacauan aksi massa, sebuah barakuda aparat melaju.
Tubuh Affan Kurniawan, pengemudi ojek online yang tak pernah ada dalam daftar orator, tiba-tiba terjerembab di bawah roda baja.
Ia bukan aktivis mahasiswa, bukan tokoh organisasi. Ia hanya seorang pencari nafkah yang sedang melintas.
Namun, berbagai ponsel merekam segalanya. Rekaman berdurasi 24 detik hingga 3 menit menembus batas ruang dan waktu.
Dalam hitungan menit, video Affan beredar di WhatsApp keluarga, Instagram story anak sekolah, Twitter timeline para aktivis, hingga TikTok yang selalu lapar drama.
Sebelum aparat sempat menggelar konferensi pers, sebelum media resmi menyiapkan redaksi, layar kecil di genggaman rakyat sudah lebih dahulu mengumumkan: ada rakyat kecil yang tergilas (digilas).
Dan seperti bara tersapu angin, amarah pun menyebar. Dari Makassar, Yogyakarta, Bandung, hingga Medan, massa tumpah ke jalan.
Solidaritas Affan berubah menjadi solidaritas nasional. Affan yang sederhana menjelma simbol.
Kita menyaksikan bagaimana satu video bisa melampaui pagar negara, melahirkan gelombang protes serentak.
Inilah wajah baru politik kita: bukan lagi semata di ruang parlemen, bukan lagi hanya dalam rapat kabinet, melainkan dalam linimasa  Handphone yang berdenyut cepat dan tak terduga.
Media sosial telah mengubah aksi protes dan politik. Mempelajari jejaknya di seluruh dunia, lima perubahan ini segera kita rasakan.
Pertama, kecepatan. Media sosial adalah akselerator sejarah.
Jika dulu butuh hari untuk menggalang massa, kini hanya menit. Aparat kehilangan jeda; pemerintah kehilangan waktu menyiapkan narasi.
Kasus George Floyd pada 25 Mei 2020 membuktikan itu. Video lehernya ditekan polisi Derek Chauvin beredar di Facebook dan Twitter.
Dalam hitungan hari, protes menjalar ke 2.000 kota di 60 negara—salah satu gerakan hak sipil terbesar sepanjang sejarah modern.
Kecepatan ini bisa menjadi kilat: ia menerangi kegelapan, tetapi juga bisa membakar nalar sebelum sempat menimbang.
Kedua, media sosial membuka ruang bagi rakyat kecil untuk bersuara.
Narasi publik dulu dimonopoli media besar dan negara. Kini seorang remaja dengan kamera ponsel dapat menjungkirbalikkan wacana resmi.
Di Nigeria, 2017–2020, lahir tagar #EndSARS melawan kekerasan polisi. Pada Oktober 2020, setelah video penyiksaan aparat viral, tagar ini menembus 48 juta mention dari 5 juta pengguna.
Video ini  dibuat oleh rakyat kecil. Namun akibatnya, narasi penguasa runtuh. Suara rakyat menggema ke dunia.
Ketiga, media sosial adalah pengeras emosi.
Komentar, emoji marah, dan retweet menjadi gema yang memperbesar perasaan. Yang tadinya sunyi menjelma gegap gempita.
Di Parkland, Florida, 14 Februari 2018, siswa korban penembakan menyalurkan duka lewat Twitter dan Instagram.
Konten emosional seperti kemarahan, ketidak-adilan atau duka yang diulang dalam gelembung informasi yang homogen membentuk echo chamber.
Mekanisme ini mengubah emosi individu menjadi emosi kolektif. Terjadi sentuhan untuk
“bergabung dengan arus.”
Dari sana lahir #MarchForOurLives. Hanya sebulan kemudian, 200.000 orang memenuhi Washington DC, berduka sekaligus menuntut perubahan.
Keempat, media sosial membuat protes lokal menjadi tontonan global.
Solidaritas lintas bangsa lahir: orang di Berlin bisa berkata pada orang di Jakarta, “Aku melihatmu. Aku bersamamu.”
Gerakan #BlackLivesMatter, lahir di AS tahun 2013, menjalar hingga London, Berlin, Sydney, Jakarta. Dunia berkata: ketidakadilanmu adalah kepedulianku.
Kelima, bahaya. Media sosial rapuh, mudah diperalat untuk menyebar hoaks dan disinformasi.
Riset MIT membuktikan: kabar bohong menyebar lebih cepat dan lebih jauh daripada kebenaran.
Akhir Juli 2024, penikaman massal terhadap beberapa gadis di Southport, Inggris, segera dipelintir.
Sekelompok orang menggunakan media sosial menuding pelakunya “pengungsi Muslim.”
Klaim itu keliru, namun viral. Hasilnya: kerusuhan, serangan terhadap masjid, dan keluarga Muslim yang sama sekali tak terlibat dijadikan “musuh rakyat.”
Mereka pun korban: korban hoaks yang meluas seperti wabah.
Video Affan yang viral adalah cermin. Ia memperlihatkan bagaimana media sosial memberi rakyat sayap yang tak pernah ada.
Ia menyatukan suara kecil menjadi teriakan nasional, mengikat solidaritas, memantik protes serentak.
Namun ia juga memperlihatkan rapuhnya demokrasi digital: amarah bisa mendahului nalar, dan kebenaran bisa tenggelam dalam banjir disinformasi.
DPRD di Makassar terbakar. Pegawai biasa yang tak tahu-menahu ikut tewas di dalam gedung.
Demokrasi digital adalah medan baru pertempuran nasib manusia. Ia bisa melahirkan cahaya solidaritas, atau kabut kekacauan.
Karena itu, demokrasi digital membutuhkan arsitektur baru: kolaborasi negara, platform, dan warga.
Regulasi algoritma harus transparan. Cara kerja mesin di balik Facebook, TikTok, atau X (Twitter) perlu jelas dan bisa diawasi. Jangan sampai algoritma lebih suka menyebarkan berita bohong karena dianggap “lebih menarik.”
Kemitraan fact-checker independen dengan media sosial harus diperkuat. Harus ada pihak netral yang memeriksa apakah berita benar atau palsu.
Mereka bekerja sama langsung dengan platform, agar hoaks cepat diberi label atau dihapus.
Literasi digital sejak sekolah dasar harus menjadi pilar. Anak-anak perlu diajari sejak dini cara membedakan fakta dari fitnah, mengenali jebakan judul sensasional, dan berpikir kritis sebelum menekan tombol “share.”
Dengan tiga langkah sederhana ini—aturan jelas, pemeriksa independen, dan pendidikan sejak kecil—media sosial bisa lebih sehat, aman, dan bermanfaat bagi semua.
Dengan arsitektur baru itu, bukan hanya “api” yang dikendalikan, tetapi juga tersedia sistem pemadam yang mencegah amarah berubah menjadi kebakaran yang salah arah.
Namun akhirnya, mari kita ingat: bukan media sosial yang menentukan. Kitalah para pemakai, yang mengarahkan ke mana api dibawa. wXIfr
Baca Juga :  Ekspresi Data : POLITIK BARU DI BALIK KEMAMPUAN IKUT MEMENANGKAN PILPRES LIMA KALI BERTURUT- TURUT