mediasumatera.id – Pagi hari, di gunung yang sejuk,
saat embun masih menggantung di ujung daun,
aku terjaga, bukan oleh yel-yel aksi protes hari itu, (1)
tapi oleh nyanyian lembut dari langit.
Suara burung itu, sederhana, namun begitu murni, indah dan lembut,
menerbangkan jiwaku lepas dari bumi.
Aku, terbiasa mengejar mimpi perubahan dunia,
berlari di jalan-jalan berdebu, berhadapan dengan aparat keamanan.
Di antara bisingnya perdebatan gagasan,
soal politik yang seharusnya,
perkara ekonomi yang semestinya,
aku lupa pada keheningan yang dulu pernah kusentuh.
Namun pagi ini, suara burung itu,
mengundangku masuk ke dalam diri,
mengajak langkahku kembali ke arah yang tak terlihat,
ke ruang hening yang menyimpan jawaban,
ke tempat pertanyaan abadi itu kembali bergema:
“Apa yang sebenarnya kau cari?”
Adakah makna di balik segala hiruk pikuk ini?
Apakah perubahan dunia luar semata yang kukejar?
Apakah itu memang ujung dari nikmat hidup?
Suara burung pagi itu membawaku terbang ke dalam., kembali masuklah ke dasar batinku.
Aku duduk di bawah langit pagi,
merasakan setiap not yang diterbangkan angin.
Suara burung itu, bukan hanya sebuah lagu,
tapi panggilan untuk merenung,
menemukan arti kesunyian.
Langit menjadi cermin raksasa.
kulihat wajah batinku di sana.
Tampak di luar, aku seorang aktivis yang sibuk mengubah dunia.
Tapi di dalam, terlihat wajahku yang lain.
Terlihat luka yang menganga.
Tampak hampa yang menekan.
Terasa jiwa yang gelisah.
Suara burung pagi hari di gunung ini,
menjadi pintu agar aku kembali masuk ke halaman luas yang terlupakan:
renungan meaning of life,
panggilan makna hidup tertinggi.