mediasumatera.id – Apakah itu data yang salah, data yang digunakan oleh Anies Baswedan menyerang Prabowo Subianto, dalam debat Capres yang ketiga?
Jika Anies tidak benar-benar meyakini kebenaran data itu, mengapa ia tega menggunakannya untuk menyerang Prabowo, tokoh yang berjasa kepadanya?
Ini pertanyaan yang muncul ketika kita membaca aneka berita setelah Debat Capres yang ketiga, di bulan Januari 2024.
Saya bacakan beberapa judul berita. Dari Cek Fakta Tempo: “Keliru, Anies Terkait Anggaran Kementerian Pertahanan Rp 700 Trilyun Untuk Beli Alutsista Bekas. Tempo menguraikan di mana kelirunya data yang digunakan Anies.
Berikutnya lagi, judul berita ini bahkan lebih jauh. Dari DetikNews: “Anies Dilaporkan ke Bawaslu Atas Dugaan Fitnah 340.000 hektar Lahan Prabowo.”
Tentu saja benar atau salah mengenai data ini, terpulang kepada para ahli untuk menelisiknya. Saya hanya ingin menyoroti dari sisi politik elektoral.
Ketika Anies memilih strategi menyerang Prabowo, itu adalah blunder, untuk tiga alasan .
Alasan pertama: Dalam kultur politik Indonesia, mayoritas publik tak suka capres yang menyerang. Ini hasil survei LSI Denny JA, yang dikerjakan di tahun 2009.
Sekitar 60,5%, mayoritas publik luas, tak menyukai capres yang menyerang. Kultur politik di Indonesia berbeda dengan misalnya tradisi politik di Amerika Serikat atau di Eropa Barat.
Kita sudah memiliki beberapa kasus soal ini. Dalam pilpres tahun 2004, elektabilitas SBY justru naik, dan elektabilias Megawati justru turun, ketika SBY diserang oleh Taufiek Kiemas, suami Megawati, dengan sebutan “SBY Anak Kecil.”
Juga data pada pilpres 2024. Di bulan Nov- Des tahun 2023, elektabilitas Ganjar justru menurun sangat drastis ketika Ganjar dan kubunya menyerang Jokowi.
Prabowo selaku pihak yang diserang, malah bisa mendapatkan simpati. Kultur politik di Indonesia justru memberikan hatinya kepada mereka yang terkesan “teraniaya.” Apalagi jika diketahui bahwa tokoh ini diserang dengan data yang salah.
Alasan kedua, bagaimanapun Prabowo berjasa kepada Anies Baswedan. Pada Pilkada DKI 2017, Prabowo mengambil risiko mendukung dan membantu Anies sebagai calon gubernur.
Posisi yang kini membuat Anies menjadi calon presiden, pastilah juga karena ia pernah menjadi gubernur DKI Jakarta. Pasti pula ada jasa dan “saham” Prabowo di sana.
Kita tidak tahu apakah ada perjanjian antara Anies dan Prabowo saat Prabowo mendukungnya dalam pilkada DKI 2017. Kita hanya membaca berita beberapa kali Anies mengklarifikasi. Anies menjelaskan janji tak mau khianati dan lawan Prabowo di Pilpres.
Kita melihat sendiri ekspresi kekecewaan Prabowo yang melihat Anies, orang yang pernah dibantunya, tapi tega ingin mempermalukannya, dengan data yang diyakini Prabowo salah pula.
Kekecewaan Prabowo kepada Anies sangat terasa cukup dengan membaca kutipan berita, setelah debat. Ini ucapan Prabowo ke Anies: “Anda tidak pantas bicara etik.”
Prabowo juga menyebut, ada manusia bermuka tebal diberi dukungan tapi dibalas kedengkian.
Juga kembali menjadi berita: Buka- bukaan soal lahan 340.000 hektar yang disinggung oleh Anies saat debat, kata Prabowo: dia mau bikin rakyat benci saya.
Alasan ketiga, lawan terdekat Anies sebenarnya bukan Prabowo. Lawan di depan mata Anies adalah Ganjar Pranowo.
Jika Anies berhasil mengalahkan Ganjar merebut tiket capres di putaran kedua, saat itu ia baru berhadapan dengan Prabowo. Tapi Anies belum tentu bisa mengalahkan Ganjar untuk mendapatkan tiket masuk putaran pilpres yang kedua, jika pilpres berlangsung dua putaran.
Dengan Anies menyerang Prabowo, dan Prabowo menjawab, maka Ganjar yang justru diuntungkan. Dalam posisi ini, Ganjar justru menambah point.
Sebelum debat capres yang ketiga, kita bisa membandingkan survei dua lembaga. Dari survei LSI Denny JA, elektabilitas Anies di atas Ganjar, dengan selisih di bawah margin of error.
Tapi dari survei Indikator, sebaliknya: Ganjar di atas Anies, juga dalam selisih di bawah margin of error.
Sementara elektabilitas Prabowo jauh unggul berselisih 18% di atas Anies ataupun Ganjar.
Menang dan kalah debat dalam perspektif politik elektoral bukan dengan membuat capres lain dipojokkan, dipermalukan, dijadikan tertuduh, dikeroyok.
Menang debat dalam politik elektoral kultur Indonesia adalah merebut the heart and the mind of the voters.
Ingin menang dalam pilpres di Indonesia harus memahami sila pertama Voting Behavior kultur politik Indonesia. Di sini, publik tak suka gaya capres yang menyerang kompetitornya. Dan publik mudah jatuh hati pada capres yang terkesan “dianiaya.”