Jakarta, mediasumatera.id – Sekretaris Jenderal Caritas Indonesia, Alistair Dutton berjumpa dengan Kardinal Ignatius Suharyo di Katedral Jakarta, Jakarta Pusat, 25 Oktober 2024. Pada kesempatan ini, Alistair datang bersama Mgr. Aloysius Sudarso, SCJ (Ketua Badan Pengurus Yayasan Karina KWI), Rm.Fredy Rante Taruk, Pr (Direktur Caritas Indonesia), dan beberapa anggota pengurus Yayasan Karina KWI. Kedatangan rombongan Caritas ini disambut oleh Kardinal Suharyo di Wisma Uskup Agung Jakarta.
Dalam penyampaiannya, Alistair menjelaskan terkait fenomena perubahan iklim yang saat ini telah mendorong arus migrasi di seluruh dunia. Migrasi iklim terjadi akibat situasi lingkungan yang berubah karena perubahan iklim, yang memaksa orang di banyak tempat meninggalkan tanah tempat tinggalnya, untuk mencari kehidupan yang baru.
“Perubahan iklim ini telah menjadi isu global dan menjadi perhatian Gereja juga Caritas di seluruh dunia,” ujar Alistair.
Menurut Alistair, situasi ini sudah terjadi di seluruh dunia. Namun, ia member penekanan situasi di Afrika yang mana saat ini telah banyak orang kehilangan mata pencaharian, diakibatkan perubahan iklim. Dalam penjelasannya, Caritas di seluruh dunia telah menjadikan perubahan iklim sebagai kesadaran bersama dan Caritas berusaha mencari jalan keluar dalam pelbagai program terkait krisis ekologis dan program Adaptasi Perubahan Iklim (Climate Change Adaptation). Alistair pun melihat, tema perubahan iklim ini telah muncul dalam pelbagai program di Caritas Indonesia.
“Hal ini telah menjadi focus Gereja, dan sebagai Caritas kita perlu untuk semakin memiliki perhatian pada isu perubahan iklim ini,” ujarnya.
Pada bagian lain, Alistair mengapresiasi Caritas Indonesia yang meski baru berusia 18 tahun, telah bekerja banyak dalam karya-karya kemanusiaan di Indonesia. Ia mengingat, bagaimana ketika terjadi tsunami tahun 2004, ada banyak lembaga Caritas dari luar negeri yang ingin membantu dan bahkan hadir di Aceh, namun belum menemukan rekanan Caritas di Indonesia. Saat ini, Alistair melihat bahwa sejak kehadiran Caritas di Indonesia, perkembangannya sangat baik dan Caritas Indonesia dapat menjalankan fungsinya sebagai lembaga kemanusiaan milik Gereja. Kehadiran Caritas di 37 keuskupan, dan nanti diharapkan juga hadir di Keuskupan Labuan Bajo, membuktikan perkembangan baik ini. Ia mendorong Caritas Indonesia untuk selalu berkoordinasi dengan Gereja lokal (keuskupan) dalam setiap karyanya.
Belarasa
Kardinal Suharyo pada kesempatan yang sama menceritakan saat-saat awal kelahiran Caritas Indonesia. Ia mengingat ketika terjadi gempa di Yogyakarta tahun 2006, saat itu ia masih menjadi Uskup Agung Semarang. Ketika bencana itu terjadi, ada banyak lembaga yang membantu, dan ada juga Caritas dari luar negeri. Situasi bencana di Yogyakarta ketika itu dapat ditangani dengan baik, karena setiap elemen Gereja bekerja dan berkoordinasi dengan baik. Kardinal Suharyo mengingat, setiap paroki saat itu bekerja dengan gigih untuk membantu masyarakat. Berkat bantuan dari pelbagai pihak, setelah tiga tahun, proses rekonstruksi dan pemulihan pasca bencana berjalan dengan sangat baik.
“Setiap paroki bergerak untuk menolong korban gempa,” ujarnya.
Kardinal Suharyo menyoroti kepercayaan masyarakat kepada lembaga-lembaga agama, khususnya sebagai saluran bantuan dalam situasi kebencanaan. Ia melihat, masyarakat sangat menaruh kepercayaan pada lembaga agama, sehingga mempercayakan bantuannya melalui lembaga social keagamaan.
“Sebagai lembaga agama, Gereja Katolik dipercaya oleh masyarakat. Hal ini juga mempengaruhi kepercayaan banyak pihak, mereka menyalurkan bantuannya melalui Gereja,” kenang Kardinal Suharyo.
Kardinal Suharyo mengapresiasi karya dan kerja Caritas Indonesia selama ini, yang saat ini telah menjadi representasi dari karya Gereja Katolik di Indonesia. Ia mengingat tema kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia: “Faith, Fraternity, Compassion”. Tema yang terakhir ini, ‘belarasa’ saat ini juga menjadi moto yang dipegang Caritas Indonesia.
“Saya berterimakasih atas kunjungan ini, dan semoga karya Caritas akan semakin berkembang di Indonesia,” ungkap Kardinal Suharyo.
Pada kesempatan ini, Mgr. Aloysius Sudarso, Ketua Pengurus, menyampaikan terimakasih untuk Kardinal Suharyo atas waktu dapat menerima rombongan Caritas. Beberapa anggota Badan Pengurus Yayasan Karina yang hadir pada kesempatan ini adalah: Devie Kusuma, Rina Bambang, Brigitta Hadianto Imam Rahayoe, Gatot Sewandhono, dan Rm. Edi Mulyono, SJ.
Setelah pertemuan dengan Kardinal Suharyo, Alistair berkesempatan mengunjungi Kantor Lembaga Daya Dharma (LDD) dan salah satu lokasi masyarakat dampingan LDD di Muara Karang, Jakarta Barat.
Tidak ada Gereja tanpa Caritas
Pada 24 Oktober 2024, Alistair menjelaskan bagaimana posisi Caritas dalam Gereja. Ia mengatakan, tidak ada Caritas tanpa Gereja, tidak ada Gereja tanpa Caritas. Dalam menjalankan setiap karyanya, Caritas perlu melihat teladan hidup Kristus. Caritas harus menjadi Kabar Baik bagi masyarakat. Seperti Yesus, membawa yang miskin sebagai inti pusat hidup kerasulannya.
Selanjutnya, Alistair juga menjelaskan terkait dengan Fraternal Cooperation dan Modus Operandinya dalam Gerakan Caritas Internationalis.
“Fraternal Cooperation berarti kita bisa bekerja bersama, seperti saudara saling memahami. Begitu cara bekerjasama harus dilakukan,” ujar Alistair.
Untuk itu, penting untuk mencermati ensiklik ketiga Paus Fransiskus, Fratelli Tutti, yang menjadi dasar “kerjasama dalam persaudaraan” ini. Alistair mengingatkan, pentingnya “hadir” di tengah Gereja lokal (keuskupan) dalam menjalankan karya. Bagian ini, ia member penekanan pada kehadiran Caritas Internationalis Member Organizations (CIMOs) di Indonesia, anggota Caritas dari negara lain, tidak bisa tidak, kehadiran mereka di suatu negara, dan ketika memulai karya, perlu bergandengan tangan dengan Caritas Nasional dan Caritas keuskupan.
“Caritas adalah lokal. Ini adalah DNA kita. Caritas dimulai dari Paroki dan Keuskupan. Ini adalah identitas Caritas di setiap negara,” ujarnya.
Pada bagian ini diamini oleh Romo Fredy, ia mengatakan, penting untuk berpijak dalam semangat fraternal cooperation ini. Dengan ini, kehadiran CIMOs dengan sendirinya akan menjadi bagian dari gerak karya Gereja dan juga Caritas.
“Modus operandi dalam kerja sama persaudaraan mendefinisikan dan memastikan Caritas bekerja melayani dengan menghargai struktur Gereja,” ujarnya.
Sebagai tanggapan atas hal ini, perwakilan dari CIMOs berharap dapat semakin mendalami tema-tema Ajaran Sosial Gereja (ASG). Mereka berharap, Caritas Indonesia dapat menganimasi hal ini, sehingga kerjasama antara Caritas Indonesia dan CIMOs dapat berjalan dengan semangat dasar yang sama.
Mgr. Yustinus Harjosusanto, MSF yang juga hadir pada kesempatan ini berharap, adanya koordinasi yang baik dalam karya Caritas di Indonesia. Karya ini diharapkan lebih menyapa Gereja-Gereja lokal. Ia mengingatkan, penting untuk mengenal Gereja local ketika akan memulai dan menjalankan karya.
Sementara itu, Mgr. Sudarso mengatakan, kehadiran Alistair di Indonesia menjadi momen penuh rahmat di mana Caritas Indonesia mendapat masukan dari CI dan juga CIMOs yang selama ini hadir di Indonesia dan bekerja bersama.(AD)