mediasumatera.id – Jika KPU yang mengundang debat capres dan debat cawapres tentu saja capres dan cawapres itu wajib, kudu, dan harus menghadirinya. Mereka harus berdebat, lebih karena itu disyaratkan.
Tapi jika yang mengundang untuk debat capres atau cawapres bukan KPU, haruskah capres dan cawapres itu memenuhinya? Baik undangan debat dari media besar, dari kampus, dari Civil Society ataupun dari berbagai kelompok kepentingan, perlu hadirkah para capres/cawapres ini?
Pertanyaan itu muncul setelah membaca berita. Media mengabarkan, WALHI mengundang tiga capres untuk berdebat. Namun hanya Anies Baswedan yang datang. Dua capres lainnya absen.
Media lain memberitakan Muhammadiyah mengundang capres dan cawapres untuk berdebat. Tapi dalam momen ini Gibran tidak datang. Ia mengatakan berbagi tugas datang ke tempat lain, dalam momen yang sama.
Kita mulai dengan data. KPU sudah merumuskan akan menyelenggarakan lima kali debat capres atau cawapres selama masa kampanye. Tiga kali debat capres dan dua kali debat cawapres.
Lama masa kampanye ternyata hanya 75 hari, dimulai tanggal 28 November 2023 sampai 10 Februari 2024. Selama 75 hari kampanye akan ada lima kali debat.
Berarti, rata-rata setiap 15 hari akan ada debat capres atau debat cawapres. Ini jadwal yang sudah cukup padat untuk acara berdebat. Juga sudah banyak materi dikupas dalam perdebatan ini.
Maka ada tiga perhitungan apakah capres dan cawapres perlu datang atau tidak jika ada debat capres atau debat cawapres yang diselenggarakan oleh pihak lain, di luar KPU.
Pertama, pertimbangan strategis. Jika bukan kalangan terpelajar yang saat ditargetkan untuk dimenangkan oleh pasangan capres itu, maka dengan sendirinya undangan perdebatan capres dan cawapres itu tak perlu dipenuhi.
Debat capres/cawapres diminati lebih oleh kalangan terpelajar, yang jumlahnya 10 persen saja dari populasi pemilih. Sementara populasi pemilih wong cilik tak menikmati debat capres/cawapres. Padahal jumlah populasi wong cilik ini lima kali lebih besar ketimbang kalangan terpelajar.
Waktu yang ada lebih baik digunakan untuk datang ke kelompok yang lebih ditargetkan. Misalnya, Gibran Rakabuming Raka lebih baik menghabiskan waktunya untuk berjumpa blusukan dengan pemilih di kantong-kantong wong cilik, ketimbang misalnya hadir dalam debat capres/cawapres.
Wong cilik itu segmen yang lebih besar, yang lebih strategis dan efektif dijangkau oleh Gibran. Kelebihan Gibran ada pada pendekatannya yang otentik pada wong cilik ini, bukan pada wacana dan debat gagasan.
Bukankah suara 1 profesor dalam kotak suara memiliki nilai yang sama dengan suara 1 petani tamatan SD?
Kedua, pertimbangan hadir atau absen dalam debat capres/cawapres adalah menghindari resiko penurunan dukungan elektabilitas. Acapkali kali ini terjadi di banyak negara.
Pasangan capres atau cawapres yang sudah sangat populer sekali sebagai front runner, memimpin sementara dukungan publik berdasarkan survei yang kredibel, mereka justru menghindari hadir dalam perdebatan yang bukan dilakukan oleh lembaga resmi, sejenis KPU.
Dalam perdebatan capres/cawapres yang cepat, selalu mungkin salah ucap, tak siap menjawab serangan yang tak terduga, terpancing emosi, dan lain sebagainya.
Kesalahan ini segera diviralkan dan disebarkan seluasnya oleh pihak kompetitor dan sompatisannya. Kesalahan itu dapat dikapitalisasi semasif mungkin.
Sebaliknya, pasangan capres atau cawapres yang sedang berada di posisi underdog justru umumnya memanfaatkan berbagai undangan debat capes atau cawapres.
Jika beruntung bisa menang telak dalam perdebatan terhadap pasangan capres/cawapres favorit, itu menjadi medium paling mudah bagi pasangan underdog untuk menaikkan elektabiltas.
Wajar jika Prabowo- Gibran yang kini sedang berada di puncak elektabilitas menghindari debat capres/cawapres yang bukan dibuat oleh KPU. Sebaliknya, Anies/Muhaimin yang sedang dalam posisi underdog justru lebih rajin menghadiri perdebatan capres/cawapres.
Ketiga, kini hadir medium lain bagi capres/cawapres untuk menyampaikan gagasan, yang kurang beresiko. Misalnya, pidato atau wawancara yang lebih diatur dan direkam sebelumnya.
Medium ini bisa diedit dan diperbaiki terus menerus sebelum dilemparkan ke publik. Efek pidato dan wawancara yang dikemas juga tak kalah hebatnya.
Lebih mendasar dari itu, kompetisi menjadi presiden dan wakil presiden memang bukanlah lomba berdebat semata. Banyak kasus mereka yang kuat dalam gagasan dan wacana, yang hebat dalam oratory bicara, tapi bukan man of action. Begitu pula sebaliknya.
Hadir dan tidak hadir memenuhi undangan berdebat yamg diselenggarakan oleh aneka lembaga selain KPU, bukan masalah menghormati atau tak menghormati pihak pengundang. Tapi itu semata pertimbangan strategis berdasarkan perhitungan elektoral.