mediasumatera.id – Tanggal 21 Juli 2022 saya tiba di Suriname bersama Sr. Henrika FCh dan Sr. Carolisa FCh. Saya berangkat untuk menjalani perutusan sebagai misionaris untuk membantu pelayanan pastoral di Keuskupan Paramaribo, Suriname. Sedangkan Sr Henrika dan Sr Carolisa datang untuk mengunjungi komunitas Suster-suster Fransiskanes Charitas (FCh) yang telah berkarya di Suriname. Kami turun dari pesawat KLM di Bandara Zanderij-Paramaribo sambil berlari karna disambut hujan deras dan angin kencang. Sebagai imam diosesan dari Keuskupan Agung Palembang akhirnya kaki saya menginjakkan kaki di tanah Suriname, tanah misi di benua Amerika Selatan.
Perayaan penyambutan misionaris dari Indonesia di (Katedral) Basilik St Petrus dan St Paulus, Paramaribo, Juli 2022. Disambut oleh Mgr Karel Choennie dan Dubes RI untuk Suriname. Dimeriahkan oleh siswa-siswi Sekolah Musik Keuskupan.

Di teras bandara saya berhenti dan hening sejenak. Saya berdoa mohon Kerahiman Allah dan tuntunan Roh KudusNya. Saya percaya TanganNya yang akan menjadi ‘tiang awan’ yang menaungi langkah peziarahan yang mulai saya tempuh. Lalu saya berdoa menghadirkan diri di hadapan Uskup Palembang, Mgr Aloysisus Sudarso (uskup emeritus) dan Mgr Harun Yuwono yang mengutus saya. Saya menguatkan janji dalam hati, semoga saya dapat mempersembahkan pelayanan yang berkenan di hadapan Tuhan dan membawa kebaikan bagi Gereja dan umatNya.
Dalam tulisan ini saya berbagi pelayanan pastoral yang kami jalankan di Suriname. Saya mengawali dengan mengangkat sejarah singkat negara-masyarakat Suriname dan sekilas sejarah Gereja Katolik Suriname sebagai latar belakang atas kondisi Keuskupan Paramaribo dan pelayanan pastoral yang kami jalankan saat ini. Semoga bermanfaat.
Sekilas tentang Sejarah dan Wilayah Suriname
Suriname merupakan negara yang terletak di pesisir timur-laut benua Amerika Selatan. Terletak di antara tiga negara, yaitu Guyana Prancis di sebelah timur, Guyana di sebelah barat, Brazil di sebelah selatan, dan sebelah utara menghadap ke Samudera Atlantik. Negara Suriname beriklim tripos dan dilalui garis katulistiwa serta mencakup wilayah daratan seluas 163.821 km2. Sebagian besar wilayahnya (sekitar 80%) masih ditutupi oleh hutan hujan asli, sebagai bagian dari hutan hujan Amazon. Sebagai pembanding, luas pulau Sumatera 473.481 km2, hampir 3 kali lipat lebih luas dari Suriname.
Sejarah Suriname sudah dimulai sejak pertengahan abad ke-15. Pada tahun 1449 pelaut Spanyol, berlayar menyusuri pantai timur laut Amerika Selatan, yang saat itu disebut Wild Coast, dan mendarat di daratan Guyana. Peristiwa itu menandai awal penaklukan oleh Raja Spanyol atas daratan Guyana. Saat ini daratan luas Guyana mencakup wilayah lima negara, yaitu Venezuela, Guyana Prancis, Suriname, Guyana, dan Brasil. Sejak abad ke-16 hingga ke- 18, pada masa peperangan, daratan Guyana silih berganti dikuasai oleh Spanyol, Inggris, Belanda, Prancis dan Portugal.

Pada tahun 1530 Belanda mulai mendirikan pusat perdagangan pertama di daratan Suriname. Hingga tahun 1800an, daratan Suriname juga dikuasai silih berganti oleh Spanyol, Inggris, Belanda, dan Prancis. Melalui perjanjian London pada tanggal 13 Agustus 1814, Suriname diakui sebagai wilayah koloni Belanda. Sejak itu, wilayah Suriname dikuasai Belanda. Belanda
kemudian mendatangkan ribuan budak dari Afrika dan wilayah lain untuk bekerja di perkebunan tebu, kopi, padi, dll yang dikembangkan kolonial.
Pada tanggal 1 Juli 1863 Belanda ikut menandatangani penghapusan perbudakan di wilayah koloninya. Pada tahun 1870 pemerintah Belanda mulai mendatangkan imigran ke Suriname. Pada tahun 1873-1917, berdasar perjanjian dengan Inggris, puluhan ribu imigran Hindustan didatangkan dari India. Pada tahun 1890-1939 didatangkan sekitar 33.000 imigran dari Jawa, Indonesia. Seiring dengan ditempatkannya puluhan ribu imigran di sektor perkebunan, Suriname mengalami kemajuan dalam bidang perkebunan, pembuatan jalan, pengairan, dan tanggul laut. Pemerintah Belanda menerapkan perencanaan dan teknologi mereka saat itu di wilayah Suriname seperti digunakan dalam membangun beberapa kota di Belanda yang berada di bawah permukaan air laut.
Setelah perang dunia kedua, pada tahun 1950an hingga 1960an, dengan didirikannya beberapa partai politik, muncul tuntutan kepada pemerintah Belanda untuk memberikan kemerdekaan Suriname. Tahun 1970 pemerintah Belanda mengadakan konferensi di Belanda yang mempersiapan pelepasan Suriname dan menyusun kabinet dari wakil-wakil partai. Suriname kemudian dimerdekakan pada tanggal 25 November 1975, dengan perekonomian negara dan pemerintahan yang masih bergantung pada bantuan pemerintah Belanda.
Pada tahun 1980, pemerintahan Suriname mengalami kudeta pertama yang dilancarkan pihak militer. Pada tahun 1985-1986 lebih dari 30.000 penduduk dari etnis Bush-negro, Maroon, Creole, Amerika-Indian, dan beberapa etnis lain mengadakan pemberontakan kepada pemerintahan militer. Pada bulan Desember 1990, pihak internal militer kembali melancarkan kudeta kedua. Hal ini menyebabkan pemerintah Belanda menghentikan semua bantuan ke Suriname dan menuntut pengembalian kekuasaan kepada pemerintah sipil yang demokratis. Pada Mei 1991 pemerintahan sipil yang demokratis berhasil dibentuk melalui pemilu. Sejak tahun 1991 hingga saat ini pemerintahan sipil tetap berjalan tanpa ada kudeta militer.
Demografi
Menurut statistik sensus tahun 2021, Suriname memiliki populasi 612.985 jiwa yang terbagi dalam berbagai kelompok etnis, yaitu etnis Amerika-Indian pribumi, Maroon, Creole, Afro- Suriname, Hindustan, Jawa-Indonesia, China, Brazil, dan campuran. Jumlah penduduk berdasarkan etnik adalah sebagai berikut. Hindustan sebagai kelompok etnis terbesar berjumlah 190an ribu jiwa (34%), Maroon dengan 180an ribu jiwa (32%), Jawa dengan 120an ribu jiwa (22%), Creol/Afro-Suriname dengan 50an ribu jiwa (8%), etnis AmerikaIndian- pribumi sekitar 20an ribu jiwa (4%), berbagai kelompok etnis China, Brasil, Eropa, Yahudi, dll sekitar 10an ribu jiwa (2%).
Wilayah Suriname dibagi menjadi sepuluh distrik. Dari timur ke barat, yaitu distrik: Marowijne, Commewijne, Wanica, Paramaribo, Saramacca, Coronie, Nickerie, Para, Brokopondo dan Sipaliwini. Distrik Sipaliwini berada di wilayah paling selatan dan mencakup kira-kira 80% wilayah Suriname berupa hutan hujan tropis, bagian dari hutan konservasi Amazon. Distrik utama sebagai ibu kota negara adalah Paramaribo, yang memiliki populasi terbesar: 308.888 (57% dari total populasi). Sebagian besar etnis pribumi, Amerika-Indian dan Maroon menetap di pedalaman terpencil Suriname, di mana mereka tinggal di desa-desa terutama di tepian sungai-sungai besar, yaitu sungai Suriname, sungai Corantjin, sungai Nickerie, sungai Coppename, sungai Saramacca, dan sungai Commewijne.
Bahasa
Sejak masa pemerintahan kolonial Belanda hingga saat ini bahasa resmi Suriname adalah bahasa Belanda. Bahasa yang juga banyak digunakan adalah Sranantongo (surinam tongue), bahasa asli Suriname. Sebagian besar orang Suriname, orang dewasa dan usia anak sekolah, juga dapat berbahasa Inggris. Kelompok etnis yang berbeda semuanya memiliki bahasa asli mereka sendiri juga. Misalnya orang Hindustan berbicara bahasa Sarnami-India, orang Jawa menggunakan bahasa Jawa-Indonesia.
Agama
Aspek lain dari masyarakat Suriname selain multi-etnis juga multi-agama. Data statistik pemerintah tahun 2020 tentang pemeluk agama adalah sebagai berikut : Kristen 52,7%, Hindu 18,9%, Islam 14,3%, Agama-agama tradisional 8,6%, dan tidak beragama/atheis 6,2%.
Jumlah yang lebih spesifik dari pemeluk agama Kristen adalah : Roma Katolik 117.261 (21,6%), Lutheran 2.811 (0,5%), Injili 60.530 (11,18%), Moravia 60.420 (11,16%), Reformed 4.018 (0,7%) dan Kristen lainnya 17.280 (3,2%).
Latar belakang sejarah, etnis, agama, bahasa, dan kondisi alam tersebut membentuk situasi masyarakat Suriname. Sebagai negara yang dimerdekakan Belanda, Suriname mempunyai konstitusi, bahasa, undang-undang, kurikulum pendidikan, dan cara hidup sekular yang berpatron pada Belanda. Hal ini membawa berdampak pada situasi hidup masyarakat saat ini.
Beberapa hal yang tidak umum atau bahkan dilarang di Indonesia, di Suriname dianggap biasa dan dilegalkan. Misalnya : hidup bersama tanpa ikatan perkawinan dari suatu agama, cukup dengan komitmen bersama, atau dengan surat nikah sipil dari negara; hidup dengan pasangan sesama jenis; prostitusi-judionline-casino-minumanberalkohol dilegalkan dan cukup mudah ditemukan di berbagai tempat. Agama dipandang sebagai hal prifat, sehingga dalam lembaga pendidikan pelajaran agama tidak dimasukkan dalam kurikulum sekolah. Beberapa hal tersebut membawa dampak besar dalam cara hidup beriman masyarakat Suriname. Hal tersebut menjadi tantangan berat bagi masa depan Gereja Katolik Suriname, yang sangat berbeda dengan situasi Gereja di Indonesia atau Asia. Tentu juga menjadi tantangan bagi masa depan masyarakat Suriname secara umum.
Sejarah Singkat Gereja Katolik Suriname
Kehadiran gereja katolik di Suriname telah dimulai sejak pertengahan abad ke-17. Tahun 1683 sudah ada catatan tentang pelayanan gereja katolik di Suriname. Beberapa upaya dan tahapan perutusan dilakukan oleh Kongregasi Propaganda Fide untuk mendirikan misi Gereja Katolik Roma di Suriname. Pada tahun 1817 karya misi Gereja Katolik secara definitif didirikan di Suriname. Tanggung jawab misi di Suriname diserahkan kepada ‘Hollandsche Zending’. Lalu pada tahun 1825 misi itu ditingkatkan menjadi Prefektur Apostolik Suriname.
Pada tahun 1852, karya misi di Suriname sudah mencatat lebih dari 6.000 umat katolik. Perkembangan jumlah umat katolik tersebut mendorong diangkatnya Prefektur Apostolik Suriname menjadi Vikariat Apostolik Suriname. Mgr J.G Schepers diangkat menjadi Vikaris Apostolik pertama. Pada 13 Agustus 1865, Roma mengeluarkan dekrit yang mempercayakan Vikariat Apostolik Suriname kepada Kongregasi Penebus Mahakudus (Kongregasi Redemptorists/C.Ss.R) dari Provinsi Belanda. Gereja Katolik di Suriname semakin berkembang sehingga pada tanggal 24 Agustus 1958 memperoleh kemandirian penuh dan
diangkat menjadi Keuskupan Paramaribo. Mgr Stephanus Kuypers, yang saat itu menjabat sebagai Vikaris Apostolik, diangkat menjadi Uskup pertama Keuskupan Paramaribo.
Keuskupan menyandang nama ‘Gereja Katolik Roma – Keuskupan Paramaribo’ yang melayani komunitas umat beriman Katolik di seluruh wilayah negara Suriname. Nama keuskupan dipilih dari tempat di mana Katedra (Kursi Uskup) berada, yaitu Kota Paramaribo, ibu kota Suriname. Pada tahun 1971 Mgr. Kuypers digantikan oleh Mgr. Aloysius Zichem, uskup lokal pertama dari Suriname. Pada tahun 2005 Mgr Zichem digantikan oleh Mgr Wilhelmus de Beker. Lalu pada tahun 2016, Mgr. Wilhelmus digantikan oleh Mgr Karel Choennie yang bertugas hingga saat ini.
Gambaran Keuskupan Paramaribo Saat ini
Selama lebih dari 200 tahun, Gereja Katolik di Suriname mengalami perkembangan pesat. Pada tahun 1950an ada lebih dari 60 paroki yang dilayani, dengan biara suster dan beberapa gedung sekolah katolik selalu ada di sekitar lingkungan paroki. Saat itu ada lebih dari 200 orang imam, biarawan, biarawati yang melayani. Namun memasuki tahun 70an hingga 80an, sebagian besar para misionaris meninggalkan Suriname dalam waktu berdekatan. Hal itu terkait dengan situasi di Suriname dalam proses kemerdekaan dan pemberontakan militer. Juga terkait dengan sekularisasi yang terjadi di Belanda dan Eropa, di mana ordo dan kongregasi religius tidak mempunyai regenerasi misionaris.
Situasi ini semakin diperberat karena para misionaris tidak membangun seminari menengah dan rumah formatio di Suriname, meskipun saat itu gereja banyak membangun asrama bagi anak sekolah di lingkungan paroki dan susteran. Paradigma yang mungkin masih ada saat itu, bahwa umat di Suriname dengan latar belakang sejarahnya, dianggap ‘belum mampu’untuk menjalankan tugas imamat.
Dampak paling awal yang terjadi adalah kekosongan pelayanan di gereja dan lembaga-lembaga yang dikelola keuskupan dan kongregasi, serta keterbatasan kemampuan keuskupan dalam mengelola lembaga-lembaga tersebut. Hampir semua sekolah dan rumah sakit katolik diambil alih oleh pemerintah, dan beberapa dikelola yayasan swasta.
Saat ini, Mgr Karel Choennie memiliki sembilan belas (19) orang imam yang melayani seluruh umat di Keuskupan Paramaribo. Tujuh (7) orang dari dari 19 imam tersebut telah berusia di atas 70 tahun. 19 orang imam tersebut terdiri dari : 6 imam Diosesan Paramaribo, 4 imam Oblat Maria (OMI), 2 imam CSsR, 3 imam SDS, 2 imam Vincentian (CM dari Indonesia, Rm Fx Mistrianto dan Rm Fx Kebry), dan 2 imam Diosesan dari Indonesia (pastor Agustinus Sudaryanto dari Keuskupan Tanjungkarang dan saya dari Keuskupan Agung Palembang). Selain 19 orang imam, keuskupan juga mempunyai 9 orang Diakon Awam tertahbis yang membantu pelayanan pastoral.
Juga terdapat delapan belas (18) orang suster yang membantu berbagai pelayanan pastoral. Terdiri dari : 3 suster hidup bakti di keuskupan (FMI), 3 orang suster Kongregasi Fransiskus Charitas (Sr Flora, Sr Christin, Sr Odilia FCh dari Palembang, Indonesia), 6 orang suster Hamba Tuhan dan Perawan Matará (SSVM, campuran dari 4 negara), 4 orang suster DMO (Dochters van Maria Onbevlekt Ontvangen dari Brasil), dan 2 orang suster Franciscan Sisters Daughters of the Sacred Heart of Jesus and Mary (Sr. Clarentia Hasugian dan Sr Lamberta Siboro FCJM dari Medan, Indonesia). Pelayanan pastoral para suster antara lain menyentuh bidang pastoral di paroki, pengelolaan wisma orang jompo/sepuh, pendampingan remaja perempuan korban kekerasan sexual, pastoral kaum muda, dan pengelolaan rumah retret dan wisma pusat pastoral
Merupakan tugas yang tidak mudah bagi Uskup Karel Choennie untuk mengemban tanggung jawab kegembalaan bagi lebih dari 117.000 umat Katolik, yang tersebar di seluruh negeri, di lebih dari 60 paroki dan komunitas basis, dengan bantuan 19 imam, 18 biarawati, dan 9 diakon tetap. Karena situasi tersebut, sejak tahun 2015 berdasar hasil sinode dan statuta keuskupan, pemetaan paroki di 10 distrik diperbarui dan dimerger menjadi 20an paroki dan beberapa gereja stasi, serta komunitas-komunitas basis di pedalaman.
Sampan Kecil di Tepi Aliran Sungai Nickerie
Saat ini saya membantu pelayanan pastoral di Paroki St Jozef, Nickerie, bersama pastor Agus Sudaryanto yang sudah datang lebih dulu di tahun 2020. Sebelumnya, pelayanan paroki St Jozef Nickerie diemban oleh Pastor Rudy Wong Loi Sing selama 27 tahun. Sekarang beliau berumur 87 tahun dan masih melayani di Paroki St Bonifasius, Paramaribo.
Gereja dan pastoran St. Jozef, Nickerie dibangun tahun 1892. Karena kerusakan bangunan, tahun 1970 dirobohkan, dibangun kembali dan diresmikan kembali pada 28 Februari 1971.
Gereja dan pastoran St. Jozef, Nickerie setelah dibangun ulang.
Paroki St Jozef berada di tengah kota Niew Nickerie, pusat distrik Nickerie, yang melayani merger dari empat paroki di distrik Nickerie dan distrik Coronie, yaitu paroki St. Jozef, paroki Heilige Geest/Roh Kudus, paroki St. Don Bosco di wilayah distrik Nickerie, dan paroki St. Maria di distrik Coronie. Juga melayani beberapa stasi di desa Kupido, Tapuripa dan Wasyabo, umat pribumi di sepanjang sungai Nickerie dan sungai Corantijn, yang ditempuh dengan perahu bermesin selama 1 hingga 3 jam.
Tentang wilayah paroki di distrik Nickerie. Distrik ini merupakan distrik paling barat Suriname, dilewati oleh sungai Nickerie dan sungai Corantjin, yang membentuk perbatasan Suriname dengan Guyana, dan menghadap ke Samudera Atlantik. Distrik ini mencakup area seluas 5.353 km2 dan memiliki penduduk sekitar 35.000 jiwa.
Kota Niew Nickerie mulai dibangun Belanda tahun 1879 dari hutan dan rawa, pemindahan dari pusat distrik yang lama, Niew Rotterdam, yang sudah tenggelam karena banjir dan sekarang menjadi hutan. Niew Nickerie dibangun dengan perencanaan tata ruang, jalan raya, pemukiman, perkantoran, sistem pengairan, pintu air, dan areal pertanian padi yang sangat rapi. Pada tahun 1904 pemerintah Belanda selesai membangun tanggul sepanjang pantai dan tepi sungai yang menghadap atau melewati kota Niew Nickerie. Berdasar pengukuran secara sederhana yang saya lakukan, tanggul tersebut lebih tinggi sekitar 4 meter dari jalan raya, dengan lebar dasar tanggul sekitar 8-10 meter dan lebar atas tanggul sekitar 2 meter. Jalan raya dan daratan kota Niew Nickeri dibangun dengan mengikuti sistem pembangunan di beberapa kota di Belanda yang posisinya lebih rendah dari permukaan air laut.
Sejarah gereja katolik di Nickerie sudah dimulai tahun 1841 ketika dua imam Redemptoris ditunjuk melayani wilayah tersebut. Pada tahun 1892, paroki secara resmi didirikan. Tahun 1894 gedung gereja dan pastoran diselesaikan. Paroki juga mulai membangun sekolah St. Alfonsus. Pada tahun 1895, para Suster Fransiskan dari provinsi Roosendaal Belanda datang membangun biara dan mengelola sekolah St. Alfonsus.
Para Sr Roosendaal kemudian mendirikan tiga sekolah berikutnya, yaitu sekolah St Clara, St. Theodorus, dan St. Michael. Dua sekolah pertama (St. Alfonsus dan St Clara) berada di samping dan belakang gedung gereja St. Jozef. Dua sekolah berikutnya (St Theodorus dan St Michael) berada di sekitar gereja Heilige Geest, di sekitar biara suster di wilayah Waldegh.
Hingga saat ini tiga sekolah tetap operasional (St.Alfonsus, St.Clara, dan St.Theodorus School), meski statusnya dikelola oleh pemerintah, dan semua gurunya adalah pegawai pemerintah. Para suster Roosendaal meninggalkan Nickerie pada tahun 1994, dan saat ini biara tersebut menjadi rumah biara bagi 2 orang suster FCJM dari Indonesia (Sr. Clarentina Hasugian FCJM dan Sr. Lamberta Siboro FCJM)
Menjalankan tugas pastoral di tanah misi menuntut pembaruan diri sendiri terlebih dulu. Hal pertama dan mendasar adalah bersedia melepaskan kecemasan diri sendiri dan berani meninggalkan zona nyaman yang ada sebelumnya. Hal ini tidak mudah tapi mutlak harus ditempuh. Setelah itu, melangkah untuk beradaptasi dengan bahasa, budaya, nilai-nilai, dan kebiasaan dari umat dan masyarakat setempat agar dapat menjalankan tugas pastoral.
Hingga saat ini, saya menjalaninya dengan susah payah dan cara ‘nekat’. Mulai belajar bahasa Belanda di usia 45 tahun saya alami sungguh sulit. Meski sudah mengikuti kursus, setiap hari mengulang gramatika, menghapal kosa kata, melatih percakapan, mengulang membaca teks perayaan Ekaristi, teks doa dan ibadat berbahasa Belanda; ternyata semakin banyak dihapal semakin banyak yang lupa.
Bermisi juga berarti kembali belajar mandiri dalam berbagai hal. Mandiri dalam persiapan dan pelayanan pastoral, mandiri menyiapkan makan dan mengurus pakaian, serta merawat rumah pastoran, karena kondisi paroki saat ini belum mampu membiayai karyawan. Juga mandiri dalam mengatur waktu untuk pelayanan pastoral, belajar bahasa, olah raga, dan membaca dokumen-dokumen gereja agar terus memperbarui diri bersama pandangan dan ajaran gereja.
Selain pelayanan liturgi dan katekese sederhana tentang sakramen, pelayanan pastoral juga diusahakan dengan mengunjungi umat, agar terbuka untuk mendengar dan memahami keadaan umat dan masyarakat di sekelilingnya. Namun kunjungan ke rumah umat di Suriname juga cukup unik. Kita tidak bisa datang jika tanpa ada janji kunjungan. Menerima tamu juga umumnya hanya di teras rumah, jarang dipersilahkan masuk ke rumah. Hal ini karena situasi keluarga banyak yang kawin campur antar etnis dan antar agama. Saya pernah berkunjung mendadak ke rumah umat yang kami lewati bersama Mgr. Karel. Kami hanya diterima ngobrol di teras selama 15 menit. Awalnya saya heran, namun sekarang lebih memahami dan terbiasa.
Hal yang juga berbeda dalam situasi gereja di Suriname dan di Indonesia adalah bahwa umat paroki tidak mengenal pemetaan teritorial lingkungan dan komunitas lingkungan. Sejak jaman misionaris Belanda hingga sekarang umat tidak mengenal komunitas lingkungan, dan tidak mengenal Misa secara berkala di rumah umat. Perayaan Ekaristi yang dikenal dirayakan di rumah adalah ketika misa requim dan misa ulang tahun, meski misa tersebut umumnya juga tetap dirayakan di gereja.
Tidak adanya sistem pembagian lingkungan menyebabkan kesulitan paroki dan keuskupan dalam mendata umat secara akurat. Data yang dimiliki di paroki adalah berdasar buku pelayanan sakramental, yaitu buku berdasar sakramen yang telah diterima: buku baptis, komuni pertama, krisma, perkawinan, dan kematian. Data jumlah umat yang digunakan paroki dan keuskupan cenderung dilengkapi dengan data sensus penduduk yang diadakan pemerintah.
Hal tersebut membawa berbagai konsekwensi. Antara lain: tidak ada kartu keluarga umat katolik berdasar paroki atau lingkungan, tidak ada iuran dan kontribusi rutin umat untuk mendukung operasional paroki dan keuskupan. Kontribusi umat hanya berdasar kolekte dan stipendium dalam ekaristi. Hal ini menjadi tantangan dalam kemandirian operasional paroki
dan keuskupan. Tantangan ini diperberat dengan sejarah gereja dan mentalitas umat yang sebelumnya dibantu dan dipenuhi semua kebutuhan pelayanan gereja oleh para misionaris dan kongregasi dari Belanda.
Dampak situasi gereja di Belanda (mungkin bagian dari dampak sekularisasi) juga membawa awan mendung dalam kehidupan Gereja di Suriname. Situasi Gereja Katolik yang ada di Belanda atau Eropa juga terlihat jelas di Suriname, gereja yang semakin kosong. Terlebih karena paradigma sekular masuk dalam dunia pendidikan (kurikulum di sekolah), yang membentuk cara berikir sejak masih anak-anak hingga ke masyarakat. Beberapa contoh yang saya cermati: pelajaran agama tidak diajarkan di sekolah, agama adalah urusan prifat; atas nama kebebasan dan kebahagiaan individu, anak-anak sudah diperkenalkan tentang identitasnya, dan ketika dewasa bisa memilih jika ingin mengubah identitas sebagai laki-laki, perempuan, atau transgender dll; seorang guru di sekolah, pribadi yang baik, dengan jujur mengakui bahwa yang bersangkutan memilih hidup tanpa agama, dan sudah hidup dengan pasangan seorang yang ateis lebih dari 10 tahun dengan komitmen antar pribadi, tanpa ikatan perkawinan; atau ada umat yang tekun hadir misa ke gereja dan menerima komuni, juga pribadi yang baik, ternyata hidup bersama pasangan yang sejenis yang bukan katolik.
Saya sungguh terkejut dengan beberapa situasi tersebut, namun harus beradaptasi dengan situasi yang ada dan menyesuaikan diri dengan kebutuhan pastoral. Hal tersebut tentu menjadi tantangan dalam pastoral dan dalam ajaran iman tentang identitas diri, panggilan hidup, makna perkawinan dan ajaran lain yang diwartakan Gereja Katolik.
Saya juga prihatin akan situasi gereja yang semakin kosong dan banyak ditinggalkan umatNya. Umat yang hadir dalam perayaan Ekaristi pada hari Minggu umumnya dihadiri sekitar 10 hingga 30 orang, termasuk anak-anak. Sangat jarang melihat kehadiran remaja usia diatas 15 tahun hingga usia keluarga muda. Umat yang hadir di gereja sekitar 10% dari jumlah umat katolik yang ada di wilayah gereja. Dalam tradisi yang sudah berjalan, anak remaja, usia pekerja muda, dan umat lainnya akan sungguh banyak hadir di gereja ketika diadakan perayaan penerimaan komuni pertama, sakramen krisma, perayaan karnafal terkait pesta etnis, atau saat misa requiem.
Namun dalam berbagai situasi umat dan pastoral tersebut, saya tetap bersyukur atas berbagai pengalaman rohani yang dianugerahkan Tuhan. Makna ‘Tuhan yang menyelenggarakan’ dan doa ‘Yesus Engkaulah Andalanku’ semakin nyata dalam pengalaman hari demi hari, sering datang secara konkrit dalam peristiwa sederhana, memberi kekuatan dan penghiburan.
Perayaan Ekaristi yang hanya dihadiri oleh beberapa umat, tidak lagi menjadi beban pikiran, tapi memurnikan rahmat Imamat yang dianugerahkan Tuhan. Selama Tuhan berkenan menggunakan hati dan tanganku untuk mempersembahkan Tubuh dan DarahNya bagi umatNya, dan selama Roh KudusNya berkenan tinggal bersamaku, itulah rahmat terindah yang kuterima dari Tuhan Yesus, yang lain adalah anugerah tambahan.
Bersama umat paroki St Maria, Coronie. Sekarang perayaan Ekaristi dilayani 2 kali sebulan.
Tantangan ber-isi juga menuntun saya melangkah masuk dalam arus peziarahan iman seperti ditunjukkan oleh pengalaman bapa Abraham. Mengajari saya hidup dengan siap sedia membongkar kemah dalam perjalanan menuju tanah terjanji. Hidup dengan berjaga-jaga, dengan kaki terangkat sebelah. Seperti bersama orang-orang majus, selalu mengharap adanya petunjuk dari bintang timur, agar pada waktunya dapat berjumpa dengan Sang Emanuel.
Perutusan misi ini juga memperkuat kesadaran akan jasa para misionaris di berbagai belahan dunia. Semakin mendalam hormat dan terima kasih saya atas pengorbanan para misionaris jaman dulu yang telah datang ke Indonesia, khususnya ke daerah di mana kita menerima menerima benih-benih iman. Mereka telah menempuh kondisi yang jauh lebih berat dari kondisi saat ini, dan mempersembahkan hampir seluruh hidup mereka di tanah misi. Dan seruan Bapa Paus di setiap perayaan Hari Misioner Sedunia menjadi seruan yang sungguh relevan dan menantang bagi gereja dan kita semua saat ini.
Salah satu sumber sukacita yang juga saya dapatkan adalah pertemuan dengan Pastor Toon de Doorsthorst, OMI (79 tahun). Pertemuan singkat dan sharing yang mengobarkan hati. Beliau sudah melayani dan membela hak suku-suku asli Suriname (bagian dari suku asli Amazon) di daerah-daerah pedalaman selama 50 tahun. Hingga saat ini beliau tetap setia, sederhana, dan gembira dalam pelayanannya. Saya berkesempatan satu kali ikut pelayanan bersama beliau dan beberapa kali misa bersama. Saya bersyukur berjumpa seorang pribadi yang menghidupi semangat gereja seperti diungkapkan dalam Querida Amazonia, surat apostolik Paus Fransiskus 2020. Saya yakin, seperti diajarkan dalam Gaudete et Exultate, seruan apostolik Paus Fransiskus 2018, ada begitu banyak orang-orang kudus yang tetap dimiliki Gereja di sekeliling kita saat ini, meski tanpa dikanonisasi dan dipublikasi, dalam pelayanannya yang setia dan sepenuh hati.
Beberapa hal yang saya ungkapkan ini adalah sebagian dari refleksi atas perutusan yang saya jalani. Juga hanya sebagian kecil dari gambaran dinamika, tantangan, dan masa depan Gereja Katolik Suriname, berdasar sudut pandang yang mampu saya lihat dan ungkapkan. Situasi Gereja di Suriname menjadi tantangan berat yang dihadapi Mgr Karel Choennie, para imam, diakon, suster dan umat pelayan gereja yang terlibat dalam pelayanan pastoral di tengah umat. Hal ini mungkin juga dapat menjadi cermin kecil atas tantangan dan harapan Gereja Katolik, di keuskupan-keuskupan Regio Caribian dan Amerika Selatan di sekeliling Suriname, dan di tempat lainnya. Mungkin juga dapat berguna sebagai cermin kecil bagi Gereja Katolik Indonesia dalam melihat dan mengantisipasi berbagai tantangan dan harapan di masa depan. Saya membayangkan dinamika perutusan misi yang saya jalani ini, seperti sedang mendayung sampan kecil di tepi aliran sungai Nickerie, sambil memandang dan mengikuti arus perjalanan sejarah Gereja Katolik Suriname.
Bersama Bunda Maria Saling mendoakan. Berkat Tuhan.
Pastoran St Jozef, Nickerie RD. Gading Johannes Sianipar