Sabtu, 12 Oktober 2024
Hukum  

Dugaan Korupsi Tanah Rorotan, KPK Tahan Bos Totalindo Eka Persada

Dugaan Korupsi Tanah Rorotan, KPK Tahan Bos Totalindo Eka Persada

mediasumatera.id – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menahan Direktur Utama PT Totalindo Eka Persada Donald Sihombing.

Donald tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan tanah di Rorotan, Cilincing, Jakarta Utara.

Tak hanya Donald, KPK juga menahan empat tersangka lainnya kasus ini. Di antaranya, dua petinggi PT Totalindo Eka Persada lainnya, yakni Komisaris Saut Irianto Rajagukguk dan Direktur Keuangan Eko Wardoyo.

Sementara dua tersangka lain adalah mantan Direktur Utama Perumda Pembangunan Sarana Jaya Yoory C Pinontoan dan Senior Manager Divisi Usaha atau Direktur Pengembangan Perumda Pembangunan Sarana Jaya Indra S Arharrys.

Direktur Penyidikan KPK, Asep Guntur Rahayu mengatakan, kelima tersangka ditahan di Rumah Tahanan (Rutan) Gedung Merah Putih KPK untuk 20 hari pertama.

“Terhitung sejak tanggal 18 September 2024 sampai dengan 7 Oktober 2024. Penahanan dilakukan di Rutan Cabang Gedung KPK Merah Putih,” ujar Asep, dalam konferensi pers, di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (18/8/2024).

Asep memaparkan, PT Totalindo Eka Persada merupakan salah satu perusahaan yang menawarkan tanah kepada Perumda Pembangunan Sarana Jaya.

Salah satu usaha Perumda Sarana Jaya, adalah membeli tanah di Jakarta untuk dijadikan sebagai bank tanah atau land bank.

Lahan seluas total 12,3 hektare di Rorotan dibeli Perumda Pembangunan Sarana Jaya dari PT Totalindo Eka Persada senilai Rp 371,5 miliar pada 2019 lalu.

Padahal, menurut Asep, tanah itu sebelumnya dibeli PT Totalindo dari PT Nusa Kirana Real Estate atau PT NKRE dengan nilai yang jauh lebih murah.

Lahan seluas sekitar 11,7 hektare dibeli PT Totalindo Eka Persada dari PT NKRE seharga Rp 950 ribu per meter persegi yang diperhitungkan sebagai pembayaran utang PT NKRE kepada PT Totalindo Eka Persada dengan nilai transaksi total Rp 117 miliar.

Baca Juga :  Mafia Tanah Nyata di Labuan Bajo, BPN Mabar Akui Tidak Ada Alas Hak Tanah di 5 SHM dan 16 Ha

Akibatnya, negara dirugikan sekitar Rp 223,8 miliar akibat penyimpangan dalam proses investasi dan pengadaan tanah oleh Perumda Pembangunan Sarana Jaya pada 2019-2021.

Nilai kerugian negara atau daerah tersebut berasal dari nilai pembayaran bersih yang diterima PT Totalindo Eka Persada dari Perumda Pembangunan Sarana Jaya sebesar Rp 371,5 miliar dikurangi harga transaksi riil PT Totalindo Eka Persada dengan pemilik tanah awal, PT NKRE setelah memperhitungkan biaya terkait lainnya, seperti pajak, BPHTB dan biaya notaris sebesar total Rp 147,7 miliar.

Tak hanya mark up harga, Asep menyatakan, pengadaan tanah di Rorotan itu dilakukan dengan berbagai penyimpangan.

Salah satunya, Yoory mengarahkan untuk tidak perlu menunjuk kantor jasa penilai publik (KJPP) independen untuk menilai harga tanah.

Selain itu, PPSJ juga belum melakukan kajian internal terkait penawaran KSO dari PT Totalindo Eka Persada.

Tak hanya itu, pihak Totalindo Eka Persada juga mengetahui enam SHGB tanah Rorotan masih atas nama PT NKRE dan belum ada peralihan hak kepemilikan atas tanah dari PT NKRE ke PT Totalindo.

Berbagai penyimpangan dalam proses pengadaan lahan di Rorotan itu diduga lantaran Yoory menerima fasilitas dari PT Totalindo Eka Persada.

Yoory diduga menerima valas dalam dolar Singapura senilai Rp 3 miliar dari PT Totalindo Eka Persada.

Selain itu, Yoory diduga mendapatkan fasilitas atau kemudahan dalam penjualan aset milik pribadi yang segera dibeli oleh pegawai PT Totalindo Eka Persada.

“Pembelian aset Saudara YCP berupa satu rumah dan satu unit apartemen oleh pegawai PT TEP tersebut atas instruksi Saudara EKW dan sumber dananya berasal dari kas perusahaan dalam bentuk pinjaman lunak kepada pegawai yang membeli aset tersebut,” papar Asep.

Baca Juga :  IWO Indonesia Berikan Apresiasi Kepada Polda Sumsel Yang Siap Memberantas Depcolector

Atas dugaan tindak pidana tersebut, Yoory, Donald Sihombing, dan tiga tersangka lainnya dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.