mediasumatera.id – Implementasi Kurikulum Merdeka (IKM) secara terbatas dimulai pada tahun 2021 di Sekolah Penggerak yang berada di 111 kabupaten/kota. Sekolah – sekolah ini pun dinamakan sekolah penggerak angkatan 1. Sebelumnya kurikulum merdeka ini di namakan kurikulum prototipe. Munculnya kurikulum ini, untuk menjawabi hilangnya pembelajaran (learning loss), akibat pandemi covid 19. Dan sebelum munculnya kurikulum prototipe, ada juga yang namanya kurikulum darurat, selain kurikulum 2013. Namun, seiring dengan bergulirnya waktu, maka sejak tahun ajaran baru 2022/2023, resmi nama kurikulum merdeka dugunakan untuk menggantikan nama kurikulum prototipe. Dan untuk pertama kalinya kurikulum merdeka diimplementasikan dibeberapa sekolah penggerak secara meluas, yang dinamakan sekolah penggerak angkatan 2. Dan untuk menjadi sekolah penggerak, sebenarnya tidak ada persyaratan, hanya melalui seleksi kepala sekolah, berupa: tes essay, simulasi mengajar dan wawancara (interview). Dengan adanya sekolah penggerak ini, sesungguhnya sebagai “laboratorium” untuk uji coba kurikulum merdeka. Itu artinya, kurikulum merdeka belum secara definitif sebagai kurikulum nasional menggantikan kurikulum 2013. Dan nanti setelah ada output peserta didik yang mengimplementasi kurikulum merdeka, barulah kurikulum merdeka di evaluasi secara nasional, apakah memang bisa menjawabi atau memulihkan pembelajaran yang telah hilang (learning lost) akibat covid 19?Dan apakah itu yang menjadi alasan atau memang sudah saatnya kurikulum masional diubah ?secara pribadi, kurikulum merdeka layak dijadikan sebagai kurikulum nasional, untuk menjawabi tuntutan dan tantangan dunia global dan zaman.
Namun, pertanyaan mendasarnya adalah apakah para kepala dinas, para pengurus yayasan, para kepala sekolah, para guru dan peserta didik siap untuk berubah? Mengapa demikian? Karena sebagus atau sekomplit apapun kurikulum baru itu, tetapi jika para stakeholdernya tidak mau berubah (tetap berada pada zona nyaman), maka perubahan atau pergantian kurikulum tidak akan mengubah kualitas wajah pendidikkan di Indonesia, yang tercermin pada perubahan cara hidup.cara bersikap, cara berperilaku, cara bertutur kata dan cara bertindak para peserta didik. Jadi, kunci agar implememtasi kurikulum merdeka berhasil guna atau efektif untuk mengubah kualitas wajah pendidikan di tanah air adalah harus adanya REVOLUSI MENTAL para kepala dinas pendidikan, para pengurus yayasan, para kepala sekolah, para guru dan peserta didik. Apa itu revolusi mental? Adalah “suatu gerakan untuk menggembleng manusia Indonesia agar menjadi manusia baru, yang berhati putih, berkemauan baja, bersemangat elang rajawali, berjiwa api yang menyala-nyala”. Itulah gagasan revolusi mental yang pertama kali dilontarkan oleh Presiden Soekarno pada Peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus 1956. Sebab Soekarno melihat revolusi nasional Indonesia saat itu sedang mandek. Dan dalam konteks pendidikan diindonesia, maka agar pergantian atau perubahan kurikulum tidak hanya sekedar menganti kulit atau sampul atau casing, tetapi yang paling penting adalah harus diikuti dengan perubahan mindset. Perubahan mindset biasanya diikuti dengan perubahan perilaku. Namun, faktanya perubahan kurikulum demi perubaahan kurikulum, sepertinya biasa biasa saja. Sebab, kalau kita lihat perjalanan perubahan kurikulum di Indonesia, setelah kemerdekaan dari sejak tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004, 2006, 2013. Itu artinya sudah 10 kali terjadi pergantian atau perubahan kurikulum, namun tampaknya dari sisi konten kurikulum memang ada perubahan, misalkan terkait muatan atau struktur kurikulum, namun dari sisi kualitas hasil belajar belum merata, artinya masih ada disparitas dalam satu wilayah maupun antar wilayah. Dan saat ini, sedang diuji cobakan kurikulum merdeka di sekolah – sekolah penggerak dan yang bukan sekolah penggerak melalui 3 jalur, yakni mendiri belajar, mandiri berubah dan mandiri berbagi.
Kurikulum merdeka memang belum secara definitif di katakan sebagai kurikulum nasional, untuk menggantikan kurikulum 2013. Sebab, pada saatnya nanti akan di evaluasi secara nasional setelah ada output dari implementasi kurikulum merdeka yang kini memasuki tahun kedua sejak di resmikan untuk diimplementasikan di tahun ajaran baru 2022/2023. Itu artinya tahun 2024/2025 sudah ada output, dan bisa di evaluasi, apakah kurikulum merdeka akan secara definitif ditetapkan sebagai kurikulum nasional atau tidak?Secara pribadi, kurikulum merdeka sangat layak di jadikan sebagai kurikulum nasional, dan bisa menjawabi tuntutan dan tantangan perkembangan zaman. Tetapi memang yang dibutuhkan adalah revolusi mental semua stakeholder mulai dari insan dinas pendidikan, insan yayasan, serta semua ekosistem yang ada di satuan pendidikan, ketika kurikulum merdeka benar benar menjadi kurikulum nasional. Pertamyaannya adalah mengapa perlu revolusi mental para stakeholder, teristimewa para kepala sekolah, para guru dan peserta didik. Karena menurut hemat saya, kunci keberhasilan implementasi sebuah kurikulum baru, terletak pada perubahan mindset atau cara berpikir atau mental para insan kepala sekolah, guru dan peserta didik. Mental memiliki arti yang berhubungan dengan watak dan batin manusia. Dari kata latin “mens” (mentis) berarti jiwa, nyawa, suksma, roh, semangat. Oleh karena itu, revolusi mental yang dimaksud dari para stakeholder adalah sikap hati, batin, jiwa untuk terbuka menerima perubahan, khususnya dalam pergantian kurikulum dari 2013 ke kurikulum merdeka. Dan yang perlu di sadari bahwa jiwa atau roh atau semangat atau spirit dari kurikulum merdeka adalah perubahan. Maka, para stakeholder, mulai dari insan dinas pendidikan, insan kepala sekolah, insan guru dan peserta didik, harus mau untuk berubah dari mentalitas manusia lama ke mentalitas manusia baru. Sebab, apalah artinya kurikulum baru (kurikulum merdeka), tetapi mentalitasnya tetap manusia lama, yang tidak mau berubah. Jika demikian, maka pergantian atau perubahan kurikulum tidak ada artinya. Oleh karena itu, sekali lagi perlu adanya revolusi mental menjadi manusia baru dari para stakeholder: mulai dari insan dinas pendidikan, insan kepala sekolah, insan guru dan peserta didik, jika ingin kurikulum merdeka menjawabi tuntutan dan tantangan zaman. Karena, sekali lagi sebaru dan sebagus apapun kurikulum, tetapi kalau kita tetap bersikap dingin dengan spirit mentalitas manusia lama, maka yang baru atau yang bagus pun akan tetap seperti lama atau buruk. Mengapa demikian? Karena banyak kali perubahan kurikulum tidak diikuti oleh perubahan mentalitas manusia, perubahan mindset, akibatnya merasa terbebani, sehingga muncul keluhan keluhan seperti di atas tadi. Dan yang perlu di pahami bahwa setiap perubahan pasti ada konsekuensi, berupa: lelah, capek, sakit, penat, luka, penderitaan. Oleh karena itu, jika ada guru yang mengeluh kurikulum merdeka, tetapi gurunya tidak merdeka, karena masih banyak yang harus di siapkan dan dikerjakan, mulai dari bedah CP (Capaian Pembelajaran) ke ATP (Alur Tujuan Pembelajaran lalu ke TP (Tujuan Pembelajaran), kemudian menyusun MA (Modul Ajar: RPP Plus), sampai menyiapkan instrumen penilaian dan asesmen. Belum lagi, setiap guru harus selalu login ke PMM (Platform Merdeka Mengajar) Atau keluhan yang lain, peserta didik merdeka, namun guru tidak merdeka, dll nya. Itulah resiko dari sebuah perubahan. Tidak ada perubahan tanpa pengorbanan: waktu, tenaga, pikiran dan bahkan juga uang. Namun, yakinlah bahwa pengorbananmu tidak sia – sia, sebab di tangan dan pundakmu, tercipta profil pelajar pancasila, generasi emas 2045. Akhirnya: “Orang hebat bisa melahirkan beberapa karya bermutu, tetapi guru yang bermutu dapat melahirkan ribuan orang-orang hebat.” Inilah tugas mulia dari seorang guru..