mediasumatera.id – “Manajemen adalah keefektifan dalam menaiki tangga kesuksesan; Kepemimpinan menentukan apakah tangga tersebut bersandar pada tembok yang kokoh”… Stephen Covey.
“Manajemen adalah melakukan hal yang benar; kepemimpinan adalah melakukan hal yang benar”… Peter F. Drucker
Dewasa ini, mutu atau kualitas suatu organisasi atau institusi, seperti satuan pendidikan tidak terlepas dari manajemen. Kata manajemen bersumber dari bahasa Inggris yakni “manage” yang memiliki arti mengatur, merencanakan, mengelola, mengusahakan dan memimpin. Secara etimologi atau bahasa, kata manajemen diambil dari bahasa Prancis kuno, yaitu management, yang artinya adalah seni dalam mengatur dan melaksanakan. Oleh karena itu, dalam prakteknya manajemen memiliki subjek dan objek. Subjek merupakan orang yang mengatur; Sedangkan objek adalah yang diatur. Maka, berbicara tentang mutu atau kualitas sekolah, berarti berbicara tentang manajemen, bagaimana mengelola sekolah dengan baik dan benar, agar sekolah kita bermutu atau berkualitas. Jadi, kunci sekolah bermutu atau berkualitas adalah manajemen diri setiap ekosistem yang ada di dalamnya, mulai dari kepala sekolah sampai pembantu pelaksana. Artinya ketika manajemen diri setiap ekosistem baik dan berkualitas, maka pastilah berdampak pada mutu atau kualitas sekolah. Pertanyaannya adalah bagaimana caranya, agar manajemen diri bermutu atau berkualitas? Caranya adalah dengan terus mengupdate dan mengupgrade diri, melalui olah pikir (literasi dan numerasi), olah hati (etika), olah rasa (estetika), dan olah raga (kinestietik). Dengan demikian, akan menciptakan pribadi yang memiliki 4C (Competence, Compassion, Consciense dan Creativity), yang berarti menciptakan pribadi yang bermutu atau berkualitas. Sebab, bagaimana mungkin kita bisa membuat peserta didik bermutu atau berkualitas, kalau diri kita tidak bermutu atau tidak berkualitas. Ada ungkapan latin: “Nemo Dat Quod Non Habet”, yang artinya tak seorang pun mampu memberikan hal yang tak dia miliki. Jadi, kita harus miliki mutu atau kualitas diri terlebih dahulu, sehingga kita bisa membuat peserta didik bermutu.
Untuk itu, maka setiap subyek manajemen, harus memiliki komitmen terhadap mutu atau kualitas diri, dan lembaga, serta berusaha untuk mewujudkannya dalam sebuah AKSI nyata, dan bukan hanya dalam NARASI. Jika manajemen diri setiap ekosistem itu yang terwujud dan terintegrasi atau berkolaborasi dengan baik, maka manajemen mutu terpadu pendidikan atau total quality manajemen (MMT/TQM) pendidikan dapat terwujud. Dan bisa dibayangkan, jika manajemen diri kita kurang bagus, maka bagaimana mungkin kita bisa memanage peserta didik, apalagi memanage sekolah. Jadi, jika manajemen diri SDM-nya bagus tetapi komitmen lemah, terhadap mutu atau kualitas diri dan sekolah, maka niscaya, diri dan sekolah bermutu atau berkualitas dapat terwujud. Dan saya sangat yakin, jika sekolah kita bermutu atau berkualitas, baik secara kuantitatif (angka) maupun kualitatif (karakter), maka secara implisit kita menginvestasi ”harta karun” yang pasti kita tidak akan pernah “lapar”. Mengapa? Sebab, sekolah kita tidak akan mungkin sepi peminat atau pelanggan, dalam hal ini adalah peserta didik baru tiap tahun. Ahh…teori, mana prakteknya buktikan sendiri…Selamat berproses menjadi pribadi dan sekolah, yang bermutu atau berkualitas!
Arti Manajemen Mutu Pendidikan
Manajemen mutu pendidikan (education quality management) dapat diartikan sebagai seni dan ilmu (art and science) dalam mengelola jasa (layanan) untuk memberikan kepuasan kepada para pelanggan melalui jaminan mutu, yang diharapkan. Jadi, kuncinya adalah manajemen diri mutu, khususnya mutu SDM guru, sebagai garda terdepan, dalam mengelola input, proccess, dan output. Input disini tidak lain adalah peserta didik, baik yang baru maupun yang lama. So, tugas para guru adalah mengelola, baik soft skill maupun hard skillnya. Dan mengingat latar belakang peserta didik beragam, dan tidak semuanya berkualitas, maka sangat dibutuhkan SDM guru yang bermutu, untuk melakukan assesment awal peserta didik baru. berupa psiko test sebagai diagnostik awal, untuk memetakan kemampuan awal, mengetahui gaya belajar (visual, auditori dan kinestetik), mengenal minat atau passion, peserta didik, sebelum mengelola input melalui proses yang berkualitas, yakni melalui pembelajaran yang bermakna (meaningful learning), yakni pembelajaran yang dilakukan dengan menghubungkan informasi baru, dengan pengetahuan yang dimiliki peserta didik, dan mengaitkanya dengan pelajaran, sehingga akan menghasilkan konsep konsep baru; Juga melalui pembelajaran yang inovatif dan kreatif (inovative and creative learning) yaitu guru harus menciptakan kondisi belajar dengan kegiatan pembelajaran yang baru, sesuai tuntutan dan perkembangan secara beragam atau vasiasi, sehingga memenuhi berbagai tingkat kemampuan peserta didik; serta melalui pembelajaran berdiferensiasi (differentiated learning), yaitu pembelajaran dimana guru menggunakan berbagai metode pembelajaran untuk memenuhi kebutuhan individual setiap peserta didik, sesuai kebutuhsn mereka, berupa pemgetahuan, gaya belajar, minat, dan pemahaman terhadap mata pelajaran. Jadi, mengelola proses secara berkualitas adalah kunci utama, untuk menghasilkan output yang berkualitas. Oleh karena itu, para kepala sekolah, para pendiddik dan tenaga kependidikan, perlu reformasi diri, baik secara mandiri, dengan mengunjungi platform merdeka mengajar (PMM) maupun secara lembaga, entah sekolah atau pun yayasan. Dan reformasi diri yang terus menerus akan menghasilkan transformasi diri yang baik, nan bermutu, bagaikan sebuah metamorfosis. Jika itu yang terjadi, maka kolaborasi antar atau lintas ekosistem dapat menghasilkan mutu pendidikan, sesuai dengan harapan para pelanggan. Sebab, sesungguhnya kepuasan para pelanggan harus menjadi prioritas, karena terkait dengan kepercayaan para pelanggan. Dan semakin tinggi tingkat kepercayaan para pelanggan terhadap sekolah kita, maka bukan tidak mungkin jumlah input semakin tinggi. Oleh sebab itu, sekolah (kepala sekolah, para guru) memiliki peran yang penting untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran yang kondusif, asyik dan menyenangkan, sehingga peserta didik dapat dengan aktif dan memiliki passion untuk belajar dan mengembangkan segala potensi yang ada pada dirinya. Mutu tidak datang dengan sendirinya, tetapi tergantung dari bagaimana kita mengelola atau memberdayakan SDM yang dimilki, mulai dari diri sendiri, pendidik dan tenaga kependidikan, maupun peserta didik. Sebab, mutu tidak dilihat dari kurikulumnya, tetapi dari manajemen diri kita, sehingga dapat mengelola pembelajaran dan peserta didik dengan baik dan bermutu atau berkualitas.
Namun, yang perlu disadari dan dipahami dengan benar, bahwa mutu atau kualitas tidak selamanya hanya diukur secara kuantitatif (angka), melainkan dewasa ini, yang lebih penting adalah mutu secara kualitatif (karakter) atau perubahan sikap (change of attitude) yang lebih manusiawi, lebih beretika, lebih beradab dan berbudaya. Oleh karena itu, dalam proses peningkatan mutu sumber daya manusia, yang harus dilakukan adalah harus dengan cara yang SMART (Specific, Measurable, Achievable, Relevant, dan Time bound). sehingga dapat menjawabi kebutuhan. Spesifik berarti kegiatan itu memiliki sasaran atau tujuan yang khusus atau jelas alias tepat sasaran atau tidak membias alias fokus. Jadi, resolusinya harus benar benar jelas. Measurable artinya kegiatan itu harus dapat di takar manfaatnya. Sedangkan Achievable, artinya goal dari kegiatan itu harus bisa dicapai. Relevant, artinya kegiatan itu sesuai atau menjawabi kebutuhan atau bermakna. Dan Time bound, artinya kegiatan itu harus ada batas waktu, tetapi harus ada target hasil yang jelas
Dan yang perlu disadari pula, bahwa sekolah yang bermutu, memiliki fasilitas atau infrastruktur penunjang pembelajaran yang memadai, maka sudah pasti mahal. Namun, bisa juga tidak harus mahal, jika bisa berpikir dengan berbasis aset (asset-based thinking), yakni sekolah atau kepala sekolah, guru dapat membangun jejaring dengan pihak luar. Dan itu harus terjadi, sebab sekolah atau kepala sekolah, guru, hukumnya wajib untuk selalu berkolaborasi dengan semua stakeholder, baik intern maupun ekstern sekolah. Jadi, sekolah bermutu atau berkualitas tidak harus memiliki infrastruktur yang lengkap, mahal, manakala bisa berpikir berbasis aset. Namun, mutu sekolah harus tetap terjaga dengan memenuhi 3P (Performance, Pelayanan dan Prestasi) yang adalah harga mati. Jadi, mutu atau kualitas sekolah, selain tergantung dari mutu manajemen diri, tetapi juga dari manajemen yang terbuka, dengan membuka diri terhadap masukan dari orangtua peserta didik, peserta didik, BP2 atau komite sekolah, alumni, pemerhati pendidikan, sekolah mitra, du/di (dunia usaha/industri), tentang harapan dari mereka.
Oleh karena bisa jadi, orang tua atau masyarakat enggan masuk sekolah kita, karena ada hal hal yang pihak sekolah tidak tahu atau tidak sadari. Maka, perlu membangun komunikasi dengan pihak luar sekolah, dengan mengadakan pertemuan berkala secaea rutin, untuk mendengar masukan dari mereka tentang sekolah kita atau persepsi masyarakat mengenai sekolah kita (school branding). Dan dari persepsi masyarakat mengenai sekolah kita, maka kita bisa mengintrospeksi diri, sembari mengelola informasi itu dan atau membenahi atau memperbaiki jika diperlukan. Menurut hemat saya, hal ini mutlak diperlukan oleh semua sekolah, agar pihak sekolah memperoleh gambaran mengenai persepsi publik mengenai sekolah kita.
Namun, pertanyaannya adalah apakah kepala sekolah memiliki keberanian untuk mengevaluasi manajemen sekolah? Dan apakah pihak sekolah berani membuka diri terhadap pihak luar, untuk menerima masukan atau kritikan?
Penutup
“Definisi manajemen yang konvensional adalah menyelesaikan pekerjaan melalui sumber daya manusia, tetapi sejatinya manajemen itu membangun sumber daya manusia melalui pekerjaan”…Agha Hasan Abedi
“Jangan mencari teman yang membuat anda merasa nyaman, tetapi carilah teman yang memaksamu untuk terus berkembang.” – Thomas J Watson
Manajemen diri adalah kunci dalam menciptakan sekolah bermutu atau berkualitas. Mengapa demikian? Sebab, hanya pribadi yang bermutu atau berkualitaslah yang mampu melahirkan sekolah yang bermutu atau berkualitas yang ttercermin pada diri peserta didik yang bermutu atau berkualitas. Ingat, buah tidak pernah jatuh jauh dari pohonnya, kecuali tanahnya miring. Dan hendaknya mindset kita harus berubah, bahwa mutu atau kualitas itu, tidak selamanya diukur secara kuantitsatif (angka), tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah diukur secara kualitatif (karakter). Jadi, dewasa ini, sesungguhnya sudah terjadi pergeseran velue (nilai) dari yang kuantitatif (angka) ke yang kualitatif (karakter). Apalagi dengan kurikulum merdeka yang akan dijadikan kurikulum nasional, maka terciptaknya profil pelajar pancasila merupakan goal dari kurikulum ini. Profil pelajar pancasila (P3) sesungguhnya merupakan pengkristalan atau penegasan dari pendidikan karakter pada kurikulum nasional 2013, yakni melahirkan peserta didik yang cerdas dan berkarakter.
Dan hemat saya, dengan kurikulum merdeka dan dihapusnya UN (Ujian Nasional), maka sekolah diberi otonomi untuk lebih merdeka untuk melakukan berbagai inovasi dan kreavitas dalam mengasah life skill peserta didik. Kurangi menjejali peserta didik dengan teori yang banyak, tetapi berikan materi esensial, selebihnya harus perbanyak praktek atau terapan dalam bentuk projek. Dan melalui praktek atau projek, manajemen diri ekosistem, terlebih peserta didik dapat terbentuk, baik soft skill maupun hard skillnya.
Akhirnya mutu atau kualitas sekolah, tidak cukup hanya dengan manajemen diri saja, melainkan perlu manajemen diri sekolah yang terbuka (open school self management) terhadap masukan atau kritikan dari orang tua peserta didik, peserta didik, alumni, BP2 atau komite, pemerhati pendidikan, du/di (dunia usaha, undustri) sebagai bahan introspeksi diri, sekaligus sebagai acuan untuk perbaikan, agar memenuhi harapan masyarakat.
Ingat, sekolah yang bermutu atau berkualitas pasti jumlah peminat tiap tahunya banyak dan sebaliknya.